Senin, 08 Juni 2009

HAJAR, SANG GURU CINTA


Ber-qurban, maknanya tak jauh berbeda dengan berkorban. Setiap kita tentu pernah dan sering berkorban untuk segala kepentingan. Misalnya, untuk bisa meraih predikat mahasiswa teladan dengan indeks prestasi tertinggi, seorang mahasiswa rela mengorbankan waktu 'santai'nya dan diganti dengan hari-hari sibuk berkutat dengan buku. Seorang suami berkorban membanting tulang siang dan malam demi sebungkus nasi yang dibawa pulang untuk anak dan isterinya. Masih banyak lagi contoh pengorbanan yang dilakukan setiap orang.

Beragam pula alasan orang melakukan pengorbanan tersebut. Harga diri, keyakinan, kepuasan, dan yang paling banyak mendasari sebuah pengorbanan adalah cinta dan kasih sayang. Semua alasan itu menjadi penyemangat seseorang untuk berkorban, apa pun bentuknya. Apa pun akan dilakukannya untuk meraih apa yang diinginkannya.

Adalah Siti Hajar, ibunda Ismail, salah satu guru cinta terbaik sepanjang masa. Ketika Ismail masih dalam susuannya, Ibrahim alaihi salam mengajak Hajar dan Ismail berpindah dari Palestina ke Makkah yang saat itu tandus dan tidak ada tanda-tanda kehidupan. Kemudian keduanya ditempatkan di suatu tempat, yang sekarang dekat dengan Ka'bah, dan saat itu tidak ada seorang pun yang menetap di tempat tersebut. Siti Hajar dan Ismail hanya berdua, dengan dibekali satu kantong berisi kurma dan sekantong air. Sementara Ibrahim bergegas kembali ke Palestina.

"Wahai Ibrahim, mengapa meninggalkan kami berdua di negeri yang tandus dan tak ada teman seorang pun?" tanya Siti Hajar. Nabi Ibrahim tidak menoleh, pun tidak menjawab. Siti Hajar terus membuntuti langkah Ibrahim dan mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali. Ibrahim tetap tidak menoleh dan membungkam.

"Apakah Allah menyuruhmu berbuat demikian?" tanya Siti Hajar. "Ya", jawab Nabi Ibrahim singkat.
"Kalau begitu, kami yakin bahwa Allah tidak akan menelantarkan kami berdua," yakin Siti Hajar. Ibrahim pun bergegas meninggalkan isteri dan anak tercintanya, tanpa memberi bekal yang lebih untuk hidup barang sehari atau dua hari saja.

Atas nama cinta, kekuatan, ketabahan dan keyakinannya akan pertolongan Allah, Siti Hajar membesarkan dan mendidik Ismail yang kelak menjadi anak yang baik, bijaksana dan sabar. Setelah Ismail beranjak remaja, sang Ayah pernah dua kali menjenguk isteri dan anaknya.

Dalam Surat Ash Shaffat ayat 104-107, bahwa ibadah qurban berawal dari sebuah mimpi Nabi Ibrahim alaihi salam yang menggambarkan dirinya menyembelih putra tercintanya, Ismail sebagai bentuk persembahan dan bukti cinta kepada Allah SWT. Ibrahim sangat cemas, tetapi sang putra justru sangat bersemangat dan ikhlas bersedia menjadi qurban untuk disembelih. Meski pada akhirnya Allah tidak memperkenankan pengorbanan manusia, dan Ismail diganti dengan seekor domba yang dibawa langsung oleh malaikat Jibril.

Dialog tentang cinta dan ketabahan pengorbanan Ismail yang direkam surat Ash Shaffat tersebut, tak lepas dari peran ajaran cinta dari Bunda Hajar. Bukan Ibrahim yang mengajarkan tentang cinta dan pengorbanan terhadap Ismail, melainkan sang bunda, karena Ibrahim tak bersama mereka sepanjang masa anak-anak hingga masa remaja putranya.

Kini, masih adakah semangat cinta dan pengorbanan itu menjadi milik kita? Sudahkah kita menjadikan Bunda Hajar guru cinta, yang mengajarkan makna cinta sebenarnya. Akankah anak-anak kita memiliki ruang cinta di jiwanya seluas ruang yang dimiliki Ismail? yang menjadikan pengorbanan adalah bentuk paling nyata menunjukkan cinta ketimbang untaian sejuta kata?

Terima kasih Bunda Hajar, atas pengajaran cintamu.

muslimah group. (Oleh Bayu Gawtama)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar