Sabtu, 15 Agustus 2009

Khutbah nabi menyambut ramadhan


Kutbah Mnyambut Ramadhan
Wahai manusia! Sungguh telah datang pada kalian bulan Allah dengan membawa berkah, rahmat dan maghfirah. Bulan yang paling mulia di sisi Allah. Hari-harinya adalah hari-hari yang paling utama. Malam-malamnya adalah malam-malam yang paling utama. Jam demi jamnya adalah jam-jam paling utama. Inilah bulan ketika kamu diundang menjadi tetamu Allah dan dimuliakan oleh-Nya. Di bulan ini nafas-nafasmu menjadi tasbih, tidurmu ibadah,amal-amalmu diterima dan doa-doamu diijabah. Bermohonlah kepada Allah Rabbmu dengan niat yang tulus dan hati yang suci agar Allah membimbingmu untuk melakukan shiyam dan membaca Kitab-Nya. Celakalah orang yang tidak mendapat ampunan Allah di bulan yang agung ini. Kenanglah dengan tenang rasa lapar dan hausmu kelaparan dan kehausan di hari kiamat.

Bersedekahlah kepada kaum fuqara dan masakin. Muliakan orang-orang tuamu, sayangilah yang muda, sambungkanlah tali persaudaraanmu, jaga lidahmu, tahan pandanganmu dari apa yang tidak halal kamu memandangnya dan pendengaranmu dari apa yang tidak halal kamu mendengarkannya, Kasihilah, anak-anak yatim, niscaya dikasihi manusia anak-anak yatimmu, Bertaubatlah kepada Allah dari dosa-dosamu. Angkatlah tangan-tanganmu untuk berdoa pada waktu-waktu salatmu karena itulah saat-saat yang paling utama ketika Allah Azza wa Jalla memandang hamba-hamba-Nya dengan penuh kasih; Dia menjawab mereka ketika mereka menyeru-Nya , menyambut mereka ketika mereka memanggil-Nya dan mengabulkan mereka ketika mereka berdoa kepada-Nya.

Wahai manusia! Sesungguhnya diri-dirimu tergadai karena amal-amalmu, maka bebaskanlah dengan istigfar. Punggung-punggunmu berat karena beban (dosa)mu, maka ringakanlah dengan memperpanjang sujudmu. Ketahuilah! Allah Taala bersumpah dengan segala kebesaran-Nya bahwa dia tidak akan mengazab orang-orang yang salat dan sujud, dan tidak akan mengancam mereka dengan neraka pada dari manusia berdiri di hadapan Rabb al-alamin.

Wahai manusia! Barangsiapa di antaramu memberi buka kepada orang-orang mukmin yang berpuasa di bulan ini, maka di sisi Allah nilainya sama dengan membebaskan seorang budak dan ia diberi ampunan atas dosa-dosanya yang lalu. (Sahabat-sahabat bertanya "Ya Rasulullah! tidaklah kami semua mampu berbuat demikian." Rasulullah meneruskan, jagalah dirimu dari api neraka walaupun dengan sebiji kurma. Jagalah dirimu dari api neraka walaupun hanya dengan seteguk air.

Wahai manusia! siapa yang membaguskan akhlaknya di bulan ini ia akan berhasil melewati sirat pada hari ketika kaki-kaki tergelincir. Siapa yang meringankan pekerjaan orang-orang yang dimiliki tangan kanannya( pegawai atau pembantu) di bulan ini, Allah akan meringankan pemeriksaan-Nya di hari kiamat. Barangsiapa menahan kejelekannya di bulan ini, Allah akan menahan murka-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barangsiapa memuliakan anak yatim di bulan ini, Allah akan memuliakannya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barangsiapa yang memutuskan kekeluargaan di bulan ini, Allah akan memutuskan Rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barangsiapa yang melakukan salat sunah di bulan ini, Allah akan menuliskan baginya kebebasan dari api neraka. Barangsiapa yang menunaikan salat fardhu baginya ganjaran seperti melakukan tujuh puluh salat fardhu di bulan yang lain. Barangsiapa yang memperbanyak sholawat kepadaku di bulan ini, Allah akan memberatkan timbangannya pada hari timbangan meringan. Barangsiapa di bulan ini membaca satu ayat Al-Quran, ganjarannya sama seperti mengkhatam Al-Quran pada bulan-bulan yang lain.

Wahai manusia! Sesungguhnya pintu-pintu surga dibukakan bagimu, maka mintalah kepada Tuhanmu agar tidak akan pernah menutupkannya bagimu. Pintu-pintu neraka tertutup, maka mohonlah kepada Rabbmu untuk tidak akan pernah dibukakan bagimu. Setan-setan terbelenggu , maka mintalah agar ia tak lagi pernah menguasaimu.

Imam Ali bin Abi Thalib as berkata : " Aku berdiri dan berkata : " Ya Rasulullah! Apa amal yang paling utama di bulan ini?" Jawab Nabi: Ya Abal Hasan! Amal yang paling utama di bulan ini adalah menjaga diri dari apa yang diharamkan Allah."

alfan arrasuli

MEMBANGUN RUMAH TANGGA Sakinah


Penting bagi yang masih bujang


Nasehat (1): Memilih Istri yang Tepat

Allah berfirman:
"Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (kawin) dan hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya. Dan Allah Maha Luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui." (An-Nur: 32).

Hendaknya seseorang memilih isteri shalihah dengan syarat-syarat sebagai berikut:

"Wanita itu dinikahi karena empat hal: hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Maka hendaknya engkau utamakan wanita yang memiliki agama, (jika tidak) niscaya kedua tanganmu akan berdebu (miskin, merana)".
Hadits riwayat Al-Bukhari, lihat Fathul Bari, 9/132.


"Dunia semuanya adalah kesenangan, dan sebaik-baik kesenangan dunia adalah wanita shalihah''.
Hadits riwayat Muslim (1468), cet. Abdul Baqi; dan riwayat An-Nasa'i dari Ibnu Amr, Shahihul Jami', hadits no.3407


"Hendaklah salah seorang dari kamu memiliki hati yang bersyukur, lisan yang selalu dzikir dan isteri beriman yang menolongnya dalam persoalan akhirat".
Hadits riwayat Ahmad (5/282), At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Tsauban, Shahihul Jami', hadits no. 5231

Dalam riwayat lain disebutkan :

"Dan isteri shalihah yang menolongmu atas persoalan dunia dan agamamu adalah sebaik-baik (harta) yang disimpan manusia".
Hadits riwayat Al-Baihaqi dalam Asy-Syu'ab dari Abu Umamah. Lihat Shahihul Jami', hadits no. 4285


"Kawinilah perempuan yang penuh cinta dan yang subur peranakannya. Sesungguhnya aku membanggakan dengan banyaknya jumlah kalian di antara para nabi pada hari Kiamat."
Hadits riwayat Imam Ahmad (3/245), dari Anas. Dikatakan dalam Irwa 'ul Ghalil, "Hadits ini shahih", 6/195


"(Nikahilah) gadis-gadis, sesungguhnya mereka lebih banyak keturunannya, lebih manis tutur katanya dan lebih menerima dengan sedikit (qana'ah)".
Hadits riwayat lbnu Majah, No. 1861 dan alam As-Silsilah Ash-Shahihah, hadits No. 623

Dalam riwayat lain disebutkan : "Lebih sedikit tipu dayanya".
Sebagaimana wanita shalihah adalah salah satu dari empat sebab kebahagiaan maka sebaliknya wanita yang tidak shalihah adalah salah satu dari empat penyebab sengsara. Seperti tersebut dalam hadits shahih:


"Dan di antara kebahagiaan adalah wanita shalihah, engkau memandangnya lalu engkau kagum dengannya, dan engkau pergi daripadanya tetapi engkau merasa aman dengan dirinya dan hartamu. Dan di antara kesengsaraan adalah wanita yang apabila engkau memandangnya engkau merasa enggan, lalu dia mengungkapkan kata-kata kotor kepadamu, dan jika engkau pergi daripadanya engkau tidak merasa aman atas dirinya dan hartamu"
Hadits riwayat Ibnu Hibban dan lainnya, dalam As-Silsilah Ash- Shahihah, hadits no. 282

Sebaliknya, perlu memperhatikan dengan seksama keadaan orang yang meminang wanita muslimah tersebut, baru mengabulkannya setelah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

"Jika datang kepadamu seseorang yang engkau rela terhadap akhlak dan agamanya maka nikahkanlah, jika tidak kamu lakukan niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar".
Hadits riwayat Ibnu Majah 1967, dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, hadits no. 1022

Hal-hal di atas perlu dilakukan dengan misalnya bertanya, melakukan penelitian, mencari informasi dan sumber-sumber berita terpercaya agar tidak merusak dan menghancurkan rumah tangga yang bersangkutan."

Laki-laki shalih dengan wanita shalihah akan mampu membangun rumah tangga yang baik, sebab negeri yang baik akan keluar tanamannya dengan izin Tuhannya, sedang negeri yang buruk tidak akan keluar tanaman daripadanya kecuali dengan susah payah.



Nasehat (2): Upaya Membentuk (Memperbaiki) Isteri.

Apabila isteri adalah wanita shalihah maka inilah kenikmatan serta anugerah besar dari Allah Ta'ala. Jika tidak demikian, maka kewajiban kepala rumah tangga adalah mengupayakan perbaikan.

Hal itu bisa terjadi karena beberapa keadaan. Misalnya, sejak semula ia memang menikah dengan wanita yang sama sekali tidak memiliki agama, karena laki-laki tersebut dulunya, memang tidak memperdulikan persoalan agama. Atau ia menikahi wanita tersebut dengan harapan kelak ia bisa memperbaikinya, atau karena tekanan keluarganya. Dalam keadaan seperti ini ia harus benar-benar berusaha sepenuhnya sehingga bisa melakukan perbaikan.

Suami juga harus memahami dan menghayati benar, bahwa persoalan hidayah (petunjuk) adalah hak Allah. Allah-lah yang memperbaiki. Dan di antara karunia Allah atas hambaNya Zakaria adalah sebagaimana difirmankan:

"Dan Kami perbaiki isterinya". (Al-Anbiya': 90).

Perbaikan itu baik berupa perbaikan fisik maupun agama. Ibnu Abbas berkata: "Dahulunya, isteri Nabi Zakaria adalah mandul, tidak bisa melahirkan maka Allah menjadikannya bisa melahirkan". Atha' berkata: Sebelumnya, ia adalah panjang lidah, kemudian Allah memperbaikinya".

Beberapa Metode Memperbaiki Isteri:

1.Memperhatikan dan meluruskan berbagai macam ibadahnya kepada Allah Ta'ala. Kupasan dalam masalah ini ada dalam pembahasan berikutnya.
2.Upaya meningkatkan keimanannya, misalnya:
a.Menganjurkannya bangun malam untuk shalat tahajjud
b.Membaca Al Qur'anul Karim.
c.Menghafalkan dzikir dan do'a pada waktu dan kesempatan tertentu.
d.Menganjurkannya melakukan banyak sedekah.
e.Membaca buku-buku Islami yang bermanfaat.
f.Mendengar rekaman kaset yang bermanfaat, baik dalam soal keimanan maupun ilmiah dan terus mengupayakan tambahan koleksi kaset yang sejenis.
g.Memilihkan teman-teman wanita shalihah baginya sehingga bisa menjalin ukhuwah yang kuat, saling bertukar pikiran dalam masalah-masalah agama serta saling mengunjungi untuk tujuan yang baik.
h.Menjauhkannya dari segala keburukan dan pintu-pintunya. Misalnya dengan menjauhkannya dari berbohong dan berkhianat dengan pasangan.

Uwais ar rozi


Nasehat Bagi Para Wanita Lajang

Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:

Saya ingin meminta nasehat dari anda, Fadhilatusy Syaikh, pada satu masalah yang khusus bagi saya dan seluruh teman-teman saya dari kalangan wanita. Ketahuilah bahwa telah ditentukan oleh Allah bagi kami bahwa kami belum memiliki kesempatan untuk menikah, sementara kami telah melalui usia menikah dan mendekati usia lanjut.


Ini bisa diketahui dan bagi Allah segala pujian serta Allah-lah yang menjadi saksi atas perkataan saya ini. Padahal kami memiliki derajad akhlak dan seluruh dari kami telah meraih gelar kesarjanaan. Akan tetapi inilah nasib kami-Alhamdulilah-dan juga sisi materi, inilah yang menyebabkan tidak seorangpun berani untuk melakukan pernikahan dengan kami.

Sungguh keadaan pernikahan di negeri kami dilakukan atas kerja sama antara suami istri dengan pertimbangan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Saya mengharap nasehat dan petunjuk bagi diri saya dan teman-teman.

Jawaban :

Nasehat yang saya sampaikan kepada para wanita yang seperti ini keadaannya yang tertunda untuk menikah-sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh penanya-untuk berserah diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berdo’a dan menundukkan diri kepada-Nya agar Ia berkenan menyiapkan untuk mereka para suami yang diridhai agama dan akhlak mereka. Bila seseorang jujur niatnya di dalam berdo’a dan berusaha menyingkirkan penghalang-penghalang terkabulnya do’a,maka sungguh Allah Ta’ala berfirman:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku. (Al Baqarah:186)

“Dan Tuhanmu berfirman, Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (Ghafir:60)

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengurutkan terkabulnya do’a setelah seseorang menyambut panggilan (ajakkan) Allah dan mengimaninya. Maka saya tidak melihat sesuatu yang lebih kuat dibanding sikap berserah diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
berdo’a dan tunduk kepada-Nya serta menunggu jalan keluar dengan sabar.

Telah tetap riwayat dari Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam:
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya pertolongan (kemenangan) disertai dengan kesabaran, kelonggaran itu disertai dengan kesusahan, dan bersama kesulitan ada kemudahan.”
Bagi para wanita tersebut dan yang seperti mereka keadaannya, mohonlah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar Dia memudahkan urusan mereka dan disediakan bagi mereka pria-pria yang shaleh yang menginginkan kebaikkan agama dan dunia mereka. Allahu a’lam. (Fatawa Al Mar’ah hal.58)

( Dinukil dari Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’ah Al-Muslimah Bab Nikah wa Thalaq, Edisi
Bahasa Indonesia “Fatwa-Fatwa Ulama Ahlus Sunnah Seputar Pernikahan, Hubungan Suami Istri dan Perceraian, Penerbit Qaulan Karima Purwokerto/ Cet.I )

Eko Mei Ludi

Peranan Wanita Dalam Dakwah Islam


Wanita Dalam Islam
Apa sebenarnya peran kaum wanita Muslimah dalam mengemban dakwah Islam. Secara syari' apakah mereka wajib mengemban dakwah seperti halnya kaum pria, atau bagaimana?

Pada dasarnya, hukum syara' itu dibebankan kepada laki-laki dan wanita. Tidak ditemukan perbedaan di antara kedua jenis kelamin dalam hal taklif (pembebanan hukum), kecuali bila terdapat nash-nash yang membedakannya.

Apabila terdapat seruan seperti: "Hai orang-orang yang beriman", maka seruan tersebut selain ditujukan untuk kaum lelaki mencakup pula wanita. Dengan demikian, tidak perlu ada seruan khusus untuk kaum wanita, misalnya: "Wahai orang-orang wanita yang beriman".

Dalam bahasa arab terdapat kaidah yang menyatakan bahwa seruan bagi kaum laki-laki sekaligus mencakup seruan bagi laki-laki dan perempuan. Sedangkan seruan bagi perempuan, tidak mencakup bagi laki-laki; ia terbatas hanya untuk kaum wanita saja. Atas dasar tersebut dapat dipahami bahwa seruan-seruan Allah SWT seperti1): "Wahai, orang-orang yang beriman"; "Wahai manusia"; "Janganlah kalian membunuh jiwa"; "Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang-orang yang menyeru kepada Allah [berdakwah kepada Islam] dan melakukan amal shaleh [melaksanakan hukum-hukum Islam]"; "Dan taatilah Allah, taatilah Rasul dan para pemimpin (pejabat yang menerapkan Islam) dari kalangan kamu";

-------------------
1) Contoh-contoh dari sekian banyak seruan yang terdapat pada ayat-ayat Al Qurâan. "Tegakkanlah shalat dan keluarkanlah zakat"; atau "Sempurnakanlah haji dan umrah itu bagi Allah".

Juga dapat kita pahami seruan-seruan Rasulullah saw, seperti2): "Kaum muslimin terpelihara darah mereka"; "Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata benar atau diam"; "Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya"; "Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim"; atau "Sebarkanlah oleh kalian salam di antara kamu".

Walaupun kata-kata yang terdapat dalam firman Allah SWT dan Hadits Rasulullah saw tersebut di atas semuanya berbentuk muzhakar (jenis laku-laki), akan tetapi seruan yang demikian telah disepakati bahwa ia juga mencakup bagi wanita.

Ada beberapa hukum yang dikhususkan bagi kaum pria saja, yaitu apabila ada qarinah (indikasi) yang menerangkan bahwa hukum tersebut tidak mencakup wanita. Demikian juga sebaliknya, ada beberapa hukum yang dikhususkan bagi kaum wanita, yaitu dengan adanya beberapa qarinah yang menunjukkan bahwa hal tersebut tidak diperuntukkan bagi kaum pria. Sebagai contoh; laki-laki adalah pemimpin bagi wanita, sedangkan kaum wanita tidak; laki-laki memberikan mahar dan nafkah, serta ditangannya terdapat akad talak; akan tetapi 'iddah mati dan 'iddah talak tidak berlaku bagi laki-laki, ia hanya berlaku bagi wanita saja; wanita memiliki aurat yang berbeda dengan aurat laki-laki; kesaksian wanita berbeda dengan kesaksian laki-laki; wanita bisa terputus shalat dan shaumnya (karena haid), sedangkan laki-laki tidak. Bagian laki-laki dalam hal warisan, berbeda dengan bagian wanita; dan seterusnya.

Kembali ke pertanyaan di atas, yaitu peran wanita muslimah dalam mengemban dakwah Islam; sebenarnya aktifitas tersebut bukanlah perbuatan yang berdiri sendiri. Dengan kata lain, tidak cukup kita mencari dan membahasnya dari sudut hukum syara' saja yang berkaitan dengan dakwah wanita. Namun harus dibahas dari sudut hukum yang lain, karena merupakan kumpulan dari berbagai perbuatan yang berkaitan dengan kedudukan wanita dalam keluarga atau dalam masyarakat, serta ada batas-batas hubungan antara pria dengan wanita, dan sebagainya. Dari sinilah, maka dakwah untuk kalangan wanita mempunyai sejumlah hukum syara'. Berikut ini hanya akan disebutkan sebagian saja dari hukum-hukum tersebut:

-------------------
2) Contoh-contoh dari sekian banyak seruan yang ada pada hadits-hadits Rasul saw.

(1) Keimanan dan keterikatan kepada halal dan haram ada lah wajib bagi wanita, sebagaimana diwajibkan juga bagi laki-laki.
(2) Menuntut ilmu tentang hukum-hukum syara' yang berkaitan dengan berbagai urusan /perbuatan wanita ada lah wajib. Begitu pula dengan laki-laki terhadap perbuatan yang dikhususkan baginya.
(3) Aktifitas amar ma'ruf nahi munkar adalah wajib bagi wanita, sama halnya bagi laki-laki, tetapi masing-masing melakukannya sesuai dengan kemampuannya.
(4) Mengoreksi tingkah laku penguasa merupakan bagian dari amar ma'ruf nahi munkar yang sifatnya wajib atas wanita dan laki-laki.
(5) Mengajarkan hukum-hukum Islam kepada kaum muslimin serta memerangi pemikiran-pemikiran kufur dan sesat, merupakan kewajiban atas kaum laki-laki dan wanita.
(6) Kegiatan dakwah untuk menegakkan Islam dan mengembalikan Khilafah Islam untuk memberlakukan hukum sesuai dengan apa yang telah diturunkan Allah, merupakan bagian dari tugas/tanggung jawab bagi laki-laki dan wanita.
(7) Membentuk suatu gerakan Islam yang berjuang untuk mengembalikan Khilafah Islam, melaksanakan amar ma' ruf nahi munkar, dan mengoreksi/menasihati penguasa, atau bergabung dalam gerakan seperti ini, merupakan fardlu kifayah bagi seluruh kaum Muslimin, baik laki-laki maupun wanita.

Ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat ditemukan dalam nash-nash Syara' yang mencakup kedua jenis kelamin ini. Dengan tetap berpegang kepada semua ketentuan umum ini, yang kedudukan laki-laki dan wanita di dalamnya adalah sama, maka kita mendapatkan keadaan tertentu berbagai hukum yang khusus bagi laki-laki; namun wanita dikecualikan dari hukum-hukum khusus ini, tetapi ia tidak keluar dari ketentuan-ketentuan yang tercantum pada butir 1-7 di atas. Keadaan yang dimaksud di sini adalah antara lain:

(1) Wanita tidak boleh keluar rumah, tanpa izin dari walinya sendiri. Misalnya, ayah, saudara laki-laki, suami, paman, dan sebagainya. Ketentuan ini membatasi kegiatan dan kemampuannya untuk bergerak di bidang dakwah.
(2) Apabila tidak disertai suami atau salah seorang muhrim dari keluarganya, maka wanita tidak boleh mendatangi tempat-tempat khusus [rumah, apartemen, dan sebagainya] yang di dalamnya terdapat laki-laki asing yang bukan muhrimnya. Ketentuan ini juga membatasi kegiatan dan kemampuannya untuk bergerak di bidang dakwah.
(3) Apabila seorang wanita telah bergabung ke dalam suatu gerakan Islam dan pimpinan gerakan tersebut menyuruhnya melaksanakan suatu perintah, sementara walinya menyuruhnya dengan perintah yang lain, maka ia wajib menaati perintah walinya selama perintah itu bukan berupa maksiat yang nyata atau bukan maksiat menurut pandangan pemimpin gerakan Islam tersebut.

Secara pasti, kita mengetahui bahwa taat kepada pemimpin adalah wajib (sebatas wewenang kepemimpinannya). Pemimpin yang dimaksud di sini antara lain khalifah (kepala negara), pejabat pemerintah, pimpinan partai/organisasi Islam, dan sebagainya. Kita juga tahu bahwa taat kepada ayah dan suami adalah wajib. Semua itu berlaku dalam perkara bukan maksiat kepada Allah SWT. Apabila perintah ayah atau suami bertentangan dengan perintah amir/pemimpin, maka dalam hal seperti ini, mana yang harus ia patuhi?

Yang wajib dipatuhi tidak lain adalah taat kepada ayah atau suami. Sebab, nash-nash Syara' yang ada memang lebih menekankan /menegaskan agar wanita taat kepada ayah atau suami daripada mentaati amir /pemimpin suatu gerakan Islam, walaupun si wanita termasuk anggota gerakan Islam tersebut. Hadits-hadits Rasulullah saw tentang hal ini sangatlah jelas, seperti antara lain sabda beliau3):

"Ayah itu menduduki pertengahan pintu-pintu surga. Karena itu, peliharalah pintu itu kalau kalian mau, atau tinggalkanlah [dengan segala akibatnya]".

-------------------
3) Lihat Shahih Ibnu Hibban, hadits no. 426.

Imam Al Baidlawi menjelaskan arti dan maksud dari hadits tersebut bahwa sebaik-baik titipan pelintas masuk surga dan mencapai derajat yang tinggi ialah dengan jalan mematuhi perintah seorang ayah dan berbakti kepadanya4). Ketaatan kepada ayah, ini juga ditegaskan di dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Ath Thabari, yaitu sabda Rasulallah saw5):

"Taat kepada Allah adalah sama halnya dengan taat kepada seorang ayah. Berbuat maksiat kepada Allah adalah sama halnya dengan berbuat maksiat kepada seorang ayah".

Adapun taatnya seorang isteri kepada suami, banyak hadits Rasulallah saw yang menjelaskan hal tersebut. Misalnya, kita perhatikan antara lain sabda beliau6):

"Tidak boleh bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah memberi izin kepada seorang (laki-laki) untuk masuk ke dalam rumah suaminya, sedangkan suaminya itu tidak suka [kepada orang tersebut]. Juga, tidak boleh bagi seorang wanita keluar rumah kalau suaminya tidak suka".

Di antara aktifitas yang terpenting di dalam mengemban dakwah Islam adalah keterikatan para pengemban dakwah dengan hukum - hukumNya. Sesungguhnya keterikatan seperti itu, baik dari pihak laki-laki maupun wanita, adalah termasuk salah satu kegiatan dakwah untuk merealisasikan Islam. Dengan demikian, apabila seorang wanita berpakaian secara syar'i, perilakunya islami baik di dalam lingkungan keluarga maupun di dalam lingkungan masyarakat, bahkan membenci setiap adat /kebiasaan orang Barat dan lainnya yang begitu nampak sekarang dalam berbagai aspek kehidupan umat Islam, serta ia merasa bangga dengan ide-ide, hukum-hukum dan adat /kebiasaan yang bernafaskan Islam pada saat ia menampilkan semua sifat /ciri Islam ini di dalam dirinya, maka sesungguhnya ia sudah menjadi seorang da'iyah (pengemban dakwah Islam) walaupun ia sendiri tidak merencanakannya. Oleh karena itu, perilaku yang baik adalah langkah awal dalam berdakwah kepada Islam, khususnya bagi wanita muslimah.

Seputar nikah dan mahar

Jangan mempersulit pernikahan

Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- telah menganjurkan umatnya untuk mempermudah dan jangan mempersulit dalam menerima lamaran dengan sabdanya,


مِنْ يُمْنِ الْمَرْأَةِ تَسْهِيْلُ أَمْرِهَا وَقِلَّةُ صَدَاقِهَا


"Diantara berkahnya seorang wanita, memudahkan urusan (nikah)nya, dan sedikit maharnya". [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (24651), Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (2739), Al-Baihaqiy dalam Al-Kubro (14135), Ibnu Hibban dalam Shohih-nya (4095), Al-Bazzar dalam Al-Musnad (3/158), Ath-Thobroniy dalam Ash-Shoghir (469). Di-hasan-kan Al-Albaniy dalam Shohih Al-Jami’ (2231)]


Oleh karena itu, pernah seseorang datang kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- seraya berkata,"Sesungguhnya aku telah menikahi seorang wanita." Beliau bersabda, "Engkau menikahinya dengan mahar berapa?" orang ini berkata:"empat awaq (yaitu seratus enam puluh dirham)". Maka Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:


عَلَى أَرْبَعِ أَوَاقٍ ؟ كَأَنَّمَا تَنْحِتُوْنَ الْفِضَّةَ مِنْ عَرْضِ هَذَا الْجَبَلِ مَا عِنْدَنَا مَا نُعْطِيْكَ وَلَكِنْ عَسَى أَنْ نَبْعَثَكَ فِيْ بَعْثٍ تُصِيْبُ مِنْهُ


"Dengan empat awaq (160 dirham)? Seakan-akan engkau telah menggali perak dari sebagian gunung ini. Tidak ada pada kami sesuatu yang bisa kami berikan kepadamu. Tapi mudah-mudahan kami dapat mengutusmu dalam suatu utusan (penarik zakat) ; engkau bisa mendapatkan (empat awaq tersebut)". [HR, Muslim(1424)].


Al-Imam Abu Zakariyya Yahya bin Syarof An-Nawawiy-rahimahullah- berkata tentang sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang kami huruf tebalkan, "Makna ucapan ini, dibencinya memperbanyak mahar hubungannya dengan kondisi calon suami".[Lihat Syarh Shohih Muslim (6/214)]


Perkara meninggikan mahar, dan mempersulit pemuda yang mau menikah, ini telah diingkari oleh Umar -radhiyallahu ‘anhu-. Umar -radhiyallahu ‘anhu- berkata,


أَلَا لَا تَغَالُوْا بِصُدُقِ النِّسَاءِ فَإِنَّهَا لَوْ كَانَتْ مَكْرَمَةً فِيْ الدُّنْيَا أَوْ تَقْوًى عِنْدَ اللهِ لَكَانَ أَوْلَاكُمْ بِهَا النََّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَصْدَقَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِمْرَأَةً مِنْ نِسَائِهِ وَلَا أُصْدِقَتْ اِمْرَأَةٌ مِنْ بَنَاتِهِ أَكْثَرَ مِنْ ثِنْتَيْ عَشَرَ أُوْقِيَةٌ


"Ingatlah, jangan kalian berlebih-lebihan dalam memberikan mahar kepada wanita karena sesungguhnya jika hal itu adalah suatu kemuliaan di dunia dan ketaqwaan di akhirat, maka Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- adalah orang yang palimg berhak dari kalian. Tidak pernah Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- memberikan mahar kepada seorang wanitapun dari istri-istri beliau dan tidak pula diberi mahar seorang wanitapun dari putri-putri beliau lebih dari dua belas uqiyah (satu uqiyah sama dengan 40 dirham)" .[HR.Abu Dawud (2106), At-Tirmidzi(1114),Ibnu Majah(1887), Ahmad(I/40&48/no.285&340).
Di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (3204)]


Pembaca yang budiman, pernikahan memang memerlukan materi, namun itu bukanlah segala-galanya, karena agungnya pernikahan tidak bisa dibandingkan dengan materi. Janganlah hanya karena materi, menjadi penghalang bagi saudara kita untuk meraih kebaikan dengan menikah. Yang jelas ia adalah seorang calon suami yang taat beragama, dan mampu menghidupi keluarganyanya kelak. Sebab pernikahan bertujuan menyelamatkan manusia dari perilaku yang keji (zina), dan mengembangkan keturunan yang menegakkan tauhid di atas muka bumi ini.


Oleh karena itu, Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- perkah bersabda,


ثَلَاثَةٌ كُلُّهُمْ حَقٌّ عَلَى اللهِ عَوْنُهُ الْغَازِيْ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَالْمُكَاتَبُ الَّذِيْ يُرِيْدُ الْأَدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِيْ يُرِيْدُ التَّعَفُّفَ


"Ada tiga orang yang wajib bagi Allah untuk menolongnya: Orang yang berperang di jalan Allah, budak yang ingin membebaskan dirinya, dan orang menikah yang ingin menjaga kesucian diri". [HR. At-Tirmidziy (1655), An-Nasa’iy (3120 & 1655), Ibnu Majah (2518). Di-hasan-kan oleh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (3089)]


Orang tua yang bijaksana tidak akan tentram hatinya sebelum ia menikahkan anaknya yang telah cukup usia. Karena itu adalah tanggung-jawab orang tua demi menyelamatkan masa depan anaknya. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran orang tua semua untuk saling tolong-menolong dalam hal kebaikan. Ingatlah sabda Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-


إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ


"Agama adalah mudah dan tidak seorangpun yang mempersulit dalam agama ini, kecuali ia akan terkalahkan". [HR. Al-Bukhary (39), dan An-Nasa’iy(5034)]


Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan umatnya untuk menerapkan prinsip islam yang mulia ini dalam kehidupan mereka sebagaimana dalam sabda Beliau,


يَسِّرُوْا وَلَا تُعَسِّرُوْا وَبَشِّرُوْا وَلَا تُنَفِّرُوْا


"permudahlah dan jangan kalian mempersulit, berilah kabar gembira dan jangan kalian membuat orang lari". [HR.Al-Bukhary(69& 6125), dan Muslim(1734)]


Syaikh Al-Utsaimin-rahimahullah- berkata, "Kalau sekiranya manusia mencukupkan dengan mahar yang kecil, mereka saling tolong menolong dalam hal mahar(yakni tidak mempersulit) dan masing-masing orang melaksanakan masalah ini, niscaya masyarakat akan mendapatkan kebaikan yang banyak, kemudahan yang lapang, serta penjagaan yang besar, baik kaum lelaki maupun wanitanya".[Lihat Az-Zawaaj]

eko mei Ludi

Panduan Qiyam Ramadhan [2]

BILANGAN QiYAM RAMADHAN

Para ulama Salaf berbeda pendapat mengenai jumlah raka'at dalam shalat Tarawih dan witir yang menyertainya.
1. Ada yang berpendapat 11 raka'at.
2. Ada yang menyatakan 13 raka'at.
3. Ada yang menyebutkan 17 raka'at.
4. Ada pula yang berpendapat 19 raka'at.
5. Ada yang mengatakan 21 raka'at.
6. Juga ada yang menyatakan 23 raka'at.
7. Ada yang berpendapat 25 raka'at.
8. Serta ada pula yang menyatakan 27 raka'at.
9. Juga ada yang berpendapat 39 raka'at.
10. Ada juga yang menyebutkan 41 raka'at.
11. Serta ada yang mengatakan 47 raka'at.
(Lihat Fathul Baari, IV/253,254).

asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mengatakan, bahwa pendapat yang terkuat adalah yang menyatakan bahwa jumlah raka'at shalat Tarawih adalah sebelas atau tiga belas raka'at. Hal ini berdasarkan riwayat dari 'Aisyah dan Ibnu Abbas yang telah tersebut sebelumnya. Dan sebagaimana disebutkan dalam al-Muwaththa', dari as-Sa'id bin Yazid ia berkata, " Umar bin Khaththab memerintahkan Ubay bin Ka'ab dan Tamim ad-Dari untuk mengimami manusia dengan sebelas raka'at." (Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Muwaththa' dan sanadnya termasuk yang paling Shahih)

Yang demikian itu didasarkan pada riwayat 'Aisyah radhiallahu 'anha, ketika ditanya tentang shalat Nabi pada bulan Ramadhan, maka dia menjawab, "Rasulullah tidak pernah mengerjakan lebih dari sebelas raka'at pada bulan Ramadhan maupun bulan-bulan lainnya, beliau mengerjakan empat raka'at; jangan tanyakan tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau Shallallaahu 'alaihi wa sallam shalat empat raka'at; dan jangan tanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga raka'at." 'Aisyah berkata, "Lalu kutanyakan, 'Wahai Rasulullah, apakah engkau tidur dulu sebelum mengerjakan witir? Beliau menjawab: "Wahai 'Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur tetapi hatiku tidak tidur..." (HR. al-Bukhari, di dalam Shahihnya III/40)

Juga hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiallaahu 'anhu, dia berkata, "Shalat Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam tiga belas raka'at, yakni pada malam hari...."(HR. al-Bukhari dan Muslim di dalam Shahih keduanya, II/46 dan II/178)

Sebagian ulama' yang lain lain mengatakan, bahwa shalat ini tidak ada batasannya. Boleh melakukan shalat 20 raka'at, 36 raka'at, 11 raka'at atau 13 raka'at; semuanya baik. Banyak sedikitnya raka'at tergantung pada panjang atau pendeknya bacaan ayat. Dalam shalat diminta khusu', tuma'ninah, dihayati dan membaca dengan pelan; dan itu tidak bisa dengan cepat dan tergesa-gesa. Dan yang lebih baik apabila shalat tersebut hanya dilakukan 11 raka'at atau 13 raka'at.

Termasuk shalat malam adalah shalat Witir. Paling sedikit satu raka,at dan paling banyak 11 raka'at. Boleh melakukan witir dengan satu raka'at saja, berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam, "Barangsiapa yang ingin melakukan witir dengan satu raka'at maka lakukanlah," (HR. Abu Dawud dan Nasa'i)

Atau witir dengan tiga raka'at, berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam, "Barangsiapa yang ingin melakukan witir dengan tiga raka'at maka lakunlah." (HR. Abu Dawud dan an-Nasa'i)

Hal ini boleh dilakukan dengan sekali salam, atau shalat dua raka'at dan salam kemudian shalat raka'at ketiga dan salam.

Atau witir dengan lima raka'a, dilakukan tanpa duduk (tahiyat awal) dan tidak salam kecuali pada akhir raka'at kelima. Berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam, "Barangsiapa ingin melakukan witir dengan lima raka'at maka lakukanlah." (HR. Abu Dawud dan an-Nasa'i)

Dari 'Aisyah radhiallahu 'anha, beliau mengatakan, "Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam biasanya shalat malam tiga belas raka'at, termasuk di dalamnya witir dengan lima raka'at tanpa duduk di salah satu raka'at pun kecuali pada raka'at terakhir." (Hadits Muttafaq 'Alaihi)

Atau witir dengan tujuh raka'at, dilakukan sebagaimana witir dengan lima raka'at. Berdasarkan penuturan Ummu Salamah radhiallahu 'anha, "Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam biasanya melakukan witir dengan tujuh dan lima raka'at tanpa dipisah dengan salam dan ucapan." (HR. Ahmad, an-Nasa'i dan Ibnu Majah).

Boleh juga melakukan witir dengan sembilan (dengan cara pada raka'at ke delapan duduk tahiyat awal dan raka'at ke sembilan duduk tahiyat akhir dan salam)atau sebelas raka'at (dengan cara shalat dua raka'at dua raka'at sebanyak sepuluh raka'at dan kemudian mengerjakan witir satu raka'at atau menherjakannya shalat empat raka'at empat raka'at dan kemudian witir tiga raka'at).

Dan yang afdhal adalah salam setiap dua raka'at kemudian witir dengan satu raka'at.

WAKTUNYA

Shalat malam Ramadhan mencakup shalat pada permulaaan malam dan pada akhir malam.Yaitu awal waktunya adalah setelah Isya' dan akhir waktunya adalah setelah terbit fajar.

Dan tidak ada larangan bagi kehadiran kaum wanita di dalam shalat Tarawih dengan syarat aman dari fitnah. Mereka harus berangkat dalam keadaan terutup lagi berhijab, tanpa berhias serta tidak juga memakai wangi-wangian, menunaikan shalat dengan khusu' dan tunduk menjauhi perkataan yang tidak berarti, ghibah, namimah, serta hal-hal yang berkenaan dengan rumah tangga mereka untuk dapat menjaga kesucian masjid.

Dan insya Allah secara rinci "Bagaimana Seharusnya Kaum Muslimah Shalat Tarawih" akan kami bahas dalam tema khusus.

Semoga bermanfa'at.

[Lihat: Risalah Ramadhan, edisi bahasa Indonesia, Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim al-Jarullah, pent. al.Sofwa; Meraih Puasa Sempurna, edisi bahasa Indonesia, Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayar, pent. Pustaka Ibnu Katsir; Kiat-Kiat Menghidupkan Bulan Ramadhan, edisi bahasa Indonesia, Abdullah ash-Shalih, pent. al-Sofwa; dan Majalis Syahri Ramadhan, edisi bahasa Indonesia Majelis Bulan Ramadhan, asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, pent. Pustaka Imam asy-Syifi'i. Sumber: www.alsofwah.or.id]

Nur laili rahmania

Panduan Qiyam Ramadhan [1]



Qiyam Lail Ramadhan

DASAR HUKUM

1. Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa mendirikan shalat malam di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala (dari Allah), niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (Hadits Muttafaq 'Alaihi)

2. Dari Abdur Rahman bin Auf radhiallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam menyebut bulan Ramadhan seraya berkata, "Sungguh Ramadhan adalah bulan yang diwajibkan Allah puasanya dan ku-sunnahkan sahalat malamnya. Maka barangsiapa menjalankan puasa dan shalat malam pada bulan itu karena iman dan mengharap pahala, niscaya bebas dari dosa-dosa seperti saat ketika dilahirkan ibunya." (HR. an-Nasa'i, katanya: Yang benar adalah dari Abu Hurairah.

Mengerjakan shalat malam adalah kebiasaan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat beliau. Sehingga 'Aisyah berkata: "Jangalah tinggalkan shalat malam, sebab Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya. Kendati pun sakit atau sedang lesu, beliau tetap mengerjakannya dengan duduk"

Umar bin Khathab radhiallahu 'anhu biasa mengerjakan shalat malam. Apabila tiba pertengahan malam, beliau segera membangunkan keluarganya untuk shalat. Beliau berseru, "Shalat, shalat!" seraya membaca ayat yang terdapat pada QS. ath-Thaha: 132, artinya, "Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meinta rizki kepadamu, Kami lah yang memberi rizki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertaqwa." (QS. ath-Thaha: 132)

Ibnu Umar pernah membaca ayat yang terdapat pada QS. az-Zumar: 9), artinya, "(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabbnya." (QS. az-Zumar:9)

Beliau berkata, "Orang yang dimaksud dalam ayat di atas adalah Utsman bin Affan radhiallahu 'anhu."

Ibnu Abi Hatim berkata, "Ibnu Umar radhiallahu 'anhu mengatakan hal itu karena banyaknya shalat malam dan tilawah yang dilakukan Amirul Mukminin utsman bin Affan. Hingga terkadang beliau membaca seluruh al-Qur'an dalam satu raka'at."

Alqamah bin Qais menceritakan, "Pada suatu ketika aku bermalam bersama Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anhu. Ia bangun untuk shalat pada awal malam. Beliau membaca surat seperti bacaan imam di masjid, beliau baca dengan tartil tanpa terburu-buru hingga dapat didengar oleh orang yang berada di dekatnya. Beliau terus shalat hingga menjelang terbit fajar jaraknya kira-kira antara adzan Maghrib hingga selesai shalat Maghrib. Setelah itu beliau mengerjakan shalat witir."

Dalam riwayat as-Sa'ib bin Zaid disebutkan bahwa ia berkata, "Pada saat itu imam membeca beratus-ratus ayat. Sehingga kami bersandar dengan tongkat karena lamanya berdiri." Ia berkata, "Kami baru selesai saat menjelang fajar."

HUKUMNYA

Qiyam Ramadhan (shalat malam Ramadhan) hukumnya sunnah mu'akaddah (ditekankan), dituntunkan oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam, dan beliau anjurkan serta sarankan kepada kaum Muslimin. Juga diamalkan oleh Khulafa'ur Rasyidin dan para Shahabat dan Tabi'in. Karena itu setogyanya seorang muslim senantiasa mengerjakan shalat Tarawih pada bulan Ramadhan dan shalat malam pada sepuluh hari terakhir untuk mendapatkan Lailatul Qadar.

Wahai sauddaraku, Sebaiknya engkau menyempurnakan shalat Tarawih bersama iamam, agar engkau termasuk orang-orang yang menghidupkan Ramadhan dengan shalat malam. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Siapa saja yang shalat Tarawih bersama imam hingga selesai, akan ditulis baginya pahala shalat semalam suntuk." (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa'i dan Ibnu Majah)

KEUTAMAANNYA

Qiyamul lail (shalat malam) disyari'atkan pada setiap malam sepanjang tahun. Keutamaannya besar dan pahalanya banyak.
Firman Allah Subhaanahu wa Ta'ala, artinya, "Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya (maksudnya mereka tidak tidur di waktu biasanya orang tidur, sedang mereka berdo'a kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka," (QS. as-Sajdah: 16)

Ini merupakan sanjungan dan pujian dari Allah Subhaanahu wa Ta'ala bagi orang-orang yang mendirikan shalat tahajjud di malam hari.

Dan sanjungan Allah Subbahaanahu wa Ta'ala kepada kaum lainnya dengan firman-Nya, artinya, "Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)." (QS. adz-Dzatiyat: 17-18)

Dalam ayat yang lain Allah Ta'ala berfirman, artinya, "Dan orang-orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka." (QS. al-Furqan: 64)

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Abdullah bin Salam, bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Wahai sekalian manusia, sebarkan salam, berilah orang miskin makan, sambungkan tali kekeluargaan, dan shalatlah pada waktu malam ketika semua manusia tidur, niscaya kalian masuk surga dengan selamat."

Juga diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Bilal, bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Hendaklah kamu mendirikan shalat malam, karena itu tradisi orang-orang shalih sebelummu. Sungguh, shalat malam mendekatkan dirimu kepada Tuhanmu, menghapuskan kesalahan, menjaga diri dari dari dosa, dan mengusir penyakit dari tubuh." (Hadits ini dinyatakan shahih oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi menyetujuinya, 1/308)

Dalam hadits kafarat dan derajat, Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Dan termasuk derajat: memberi makan, berkata baik, dan mendirikan shalat malam ketika orang-orang tidur." (Dinyatakan shahih oleh al-Bukhari dan at-Tirmidzi)

Dan sabda Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam, "Sebaik-baik shalat setelah fardhu adalah shalat malam."

Nur laili Rahmania



Syarat Diterimanya hadis dho'if


SYARAT-SYARAT DITERIMANYA HADITS DHA'IF UNTUK FADHAA-ILUL A'MAAL

pembahasan sebelumnya telah dikemukakan bahwa pendapat yang terkuat adalah pendapat Imam al-Bukhari, Muslim dan Ibnu Hazm tentang tidak diterimanya hadits dha’if untuk fadhaa-ilul a’maal.

Akan tetapi tentunya sejak dulu sampai hari ini masih saja ada ulama yang memakainya. Oleh karena itu, saya bawakan pendapat al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany tentang syarat-syarat diterimanya hadits dha’if untuk fadhaa-ilul a’maal, beliau berkata, “Sudah masyhur di kalangan ulama bahwa ada di antara mereka orang-orang yang tasaahul (bermudah-mudah/menggampan
g-gampangkan) dalam membawakan hadits-hadits fadhaa-il kendatipun banyak di antaranya yang dha’if bahkan ada yang maudhu’ (palsu). Oleh karena itu wajiblah atas ulama untuk mengetahui syarat-syarat dibolehkannya beramal dengan hadits dha’if, yaitu ia (ulama) harus meyakini bahwa itu dha’if dan tidak boleh dimasyhurkan agar orang tidak mengamalkannya yakni tidak menjadikan hadits dha’if itu syari’at atau mungkin akan disangka oleh orang-orang jahil bahwa hadits dha’if itu mempunyai Sunnah (untuk diamalkan).” [Tamaamul Minnah hal. 36.]

Syaikh Muhammad bin Abdis Salam telah menjelaskan hal ini dan hendaklah seseorang berhati-hati terkena ancaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (hadits Samurah di atas). Bila sudah ada ancaman ini bagaimana mungkin kita akan mengamalkan hadits dha’if?

Dalam hal ini (ancaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) terkena bagi orang yang mengamalkan hadits dha’if dalam masalah ahkam (hukum-hukum) ataupun fadhaa-ilul a’maal, karena semua ini termasuk syari’at. [Tabyiinul A’jab (hal. 3-4) dinukil oleh Syaikh al-Albany dalam Tamamul Minnah (hal. 36)]

Al-Hafizh as-Sakhawy, murid al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany t, beliau berkata:, “Aku sering mendengar syaikhku (Ibnu Hajar) berkata: “Syarat-syarat bolehnya beramal dengan hadits dha’if:

[1]. Hadits itu tidak sangat lemah. Maksudnya, tidak boleh ada rawi pendusta, atau dituduh berdusta atau hal-hal yang sangat berat kekeliruannya.
[2]. Tidak boleh hadits dha’if jadi pokok, tetapi dia harus berada di bawah nash yang sudah shahih.
[3]. Tidak boleh hadits itu dimasyhurkan, yang akan ber-akibat orang menyandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apa-apa yang tidak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan.”


Imam as-Sakhawi berkata: “Syarat-syarat kedua dan ketiga dari Ibnu Abdis Salam dan dari shahabatnya Ibnu Daqiqiil ‘Ied.”

Imam ‘Alaiy berkata: “Syarat pertama sudah disepakati oleh para ulama hadits.” [ Lihat al-Qaulu Badi’ fii Fadhlish Shalah ‘alal Habibisy Syafi’i (hal. 255), oleh al-Hafizh as-Sakhawi, cet. Daarul Bayan Lit Turats]

Bila kita perhatikan syarat pertama saja, maka kewajiban bagi ulama dan orang yang mengerti hadits, untuk menjelaskan kepada ummat Islam dua hal yang penting:

Pertama.
Mereka harus dapat membedakan hadits-hadits dha’if dan yang shahih agar orang-orang yang menga-malkannya tidak meyakini bahwa itu shahih, hingga mereka tidak terjatuh ke dalam bahaya dusta atas nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua.
Mereka harus dapat membedakan hadits-hadits yang sangat lemah dengan hadits-hadits yang tidak sangat lemah.

Bagi para ulama, ustadz, dan kyai yang masih bersikeras bertahan untuk tetap memakai hadits-hadits dha’if untuk fadhaaa-ilul a’maal, saya ingin ajukan pertanyaan untuk mereka: “Sanggupkah mereka memenuhi syarat pertama, kedua dan ketiga itu?” Bila tidak, jangan mereka mengamalkannya. Kemudian apa sulitnya bagi mereka untuk mengambil dan membawakan hadits-hadits yang shahih saja yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dan kitab-kitab hadits lainnya. Apalagi sekarang -alhamdulillah- Allah sudah mudahkan adanya kitab-kitab hadits yang sudah dipilah-pilah antara yang shahih dan yang dha’if. Dan kita berusaha untuk memiliki kitab-kitab itu, sehingga dapat membaca, memahami, mengamalkan dan menyampaikan yang benar kepada ummat Islam.

[Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M].


HUKUM BERAMAL DENGAN HADITS DHA’IF [LEMAH]



PENDAPAT BEBERAPA ULAMA TENTANG HADITS-HADITS DHA'IF [LEMAH} UNTUK FADHAAILUL A'MAAL [KEUTAMAAN AMAL]
Di kalangan ulama, ustadz dan kyai sudah tersebar bahwa hadits-hadits dha’if boleh dipakai untuk fadhaa-ilul a’maal. Mereka menyangka tentang bolehnya itu tidak ada khilaf di antara ulama. Mereka berpegang kepada perka-taan Imam an-Nawawi yang menyatakan bahwa bolehnya hal itu sudah disepakati oleh ahli ilmu.

Apa yang dinyatakan Imam an-Nawawi rahimahullah tentang adanya kesepakatan ulama yang membolehkan memakai hadits dha’if untuk fadhaa-ilul a’maal ini merupakan satu kekeliruan yang nyata. Sebab, ada ulama yang tidak sepakat dan tidak setuju digunakannya hadits dha’if untuk fadhaa-ilul a’maal.

Ada beberapa pakar hadits dan ulama-ulama ahli tahqiq yang berpendapat bahwa hadits dha’if tidak boleh dipakai secara mutlak, baik hal itu dalam masalah ahkam (hukum-hukum) maupun fadha-il.

[a]. Syaikh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi menyebutkan dalam kitabnya, Qawaaidut Tahdits: “Hadits-hadits dha’if tidak bisa dipakai secara mutlak untuk ahkaam maupun untuk fadhaa-ilul a’maal, hal ini disebutkan oleh Ibnu Sayyidin Nas dalam kitabnya, ‘Uyunul Atsar, dari Yahya bin Ma’in dan disebutkan juga di dalam kitab Fat-hul Mughits. Ulama yang berpendapat demikian adalah Abu Bakar Ibnul Araby, Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan Imam Ibnu Hazm. [Qawaaidut Tahdits min Fununi Musthalahil Hadits, hal. 113, tahqiq: Muhammad Bahjah al-Baithar]

[b]. Menurut Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany rahimahullah (Ahli Hadits zaman sekarang ini), ia berpendapat: “Pendapat Imam al-Bukhari inilah yang benar dan aku tidak meragukan tentang kebenarannya.” [Tamaamul Minnah fii Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah hal. 34, cet. Daarur Rayah, th. 1409 H]

MENURUT PARA ULAMA,HADITS DHA'IF [LEMAH] TIDAK BOLEH DIAMALKAN, karena:

Pertama.
Hadits dha’if hanyalah mendatangkan sangkaan yang sangat lemah, orang mengamalkan sesuatu dengan prasangka, bukan sesuatu yang pasti diyakini. Firman Allah, artinya, “Sesungguhnya sangka-sangka itu sedikit pun tidak bisa mengalahkan kebenaran.” [QS. Yunus: 36]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya : Jauhkanlah dirimu dari sangka-sangka, karena sesungguhnya sangka-sangka itu sedusta-dusta perkataan.” [HR. Al-Bukhari (no. 5143, 6066) dan Muslim (no. 2563) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]

Kedua.
Kata-kata fadhaa-ilul a’maal menunjukkan bahwa amal-amal tersebut harus sudah ada nashnya yang shahih. Adapun hadits dha’if itu sekedar penambah semangat (targhib), atau untuk mengancam (tarhiib) dari amalan yang sudah diperintahkan atau dilarang dalam hadits atau riwayat yang shahih.

Ketiga.
Hadits dha’if itu masih meragukan, apakah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau bukan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Tinggalkanlah apa-apa yang meragukan kamu (menuju) kepada yang tidak meragukan.” [HR. Ahmad (I/200), at-Tirmidzi (no. 2518) dan an-Nasa-i (VIII/327-328), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir (no. 2708, 2711), dan at-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih.”]

Keempat.
Penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tentang perkataan Imam Ahmad, “Apabila kami meriwayatkan masalah yang halal dan haram, kami sangat keras (harus hadits yang shahih), tetapi apabila kami meriwayatkan masalah fadhaa-il, targhiib wat tarhiib, kami tasaahul (bermudah-mudah).” Kata Syaikhul Islam: “Maksud perkataan ini bukanlah menyunnahkan suatu amalan dengan hadits dha’if yang tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, karena masalah sunnah adalah masalah syar’i, maka yang harus dipakai pun haruslah dalil syar’i. Barangsiapa yang mengabarkan bahwa Allah cinta pada suatu amalan, tetapi dia tidak bawakan dalil syar’i (hadits yang shahih), maka sesungguhnya dia telah mengadakan syari’at yang tidak diizinkan oleh Allah, sebagaimana dia menetapkan hukum wajib dan haram.[ Majmuu’ Fataawaa, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XVIII/65).]

Kelima.
Syaikh Ahmad Muhammad Syakir menerangkan tentang maksud perkataan Imam Ahmad, Abdurahman bin Mahdi dan ‘Abdullah Ibnul Mubarak tersebut, beliau berkata, “Bahwa yang dimaksud tasaahul (bermudah-mudah) di sini ialah mereka mengambil hadits-hadits hasan yang tidak sampai ke derajat shahih untuk masalah fadhaa-il. Karena istilah untuk membedakan antara hadits shahih dengan hadits hasan belum terkenal pada masa itu. Bahkan kebanyakan dari ulama mutaqadimin (ulama terdahulu) hanyalah membagi derajat hadits itu kepada shahih atau dha’if saja. (Sedang yang dimaksud dha’if itu sebagiannya adalah hadits hasan yang bisa dipakai untuk fadhaa-ilul a’maal-pen). [Baaitsul Hatsits Syarah Ikhtishaar Uluumil Hadiits, oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir (hal 87), cet. III Maktabah Daarut Turats, th. 1979 M/1399 H atau cet. I Daarul ‘Ashimah, ta’liq: Syaikh al-Albany]

Sebagai tambahan dan penguat pendapat ulama yang tidak membolehkan dipakainya hadits dha’if untuk fadhaa-ilul a’maal. Saya bawakan pendapat Dr. Subhi Shalih, ia berkata: “Menurut pendapat agama yang tidak diragukan lagi bahwa riwayat lemah tidak mungkin untuk dijadikan sumber dalam masalah ahkam syar’i dan tidak juga untuk fadhilah akhlaq (targhib wat tarhib), karena sesungguhnya zhan atau persangkaan tidak bisa mengalahkan yang haq sedikit pun. Dalam masalah fadhaa'il sama seperti ahkam, ia termasuk pondasi agama yang pokok, dan tidak boleh sama sekali bangunan pondasi ini lemah yang berada di tepi jurang yang dalam. Oleh karena itu, kita tidak bisa selamat bila kita meriwayatkan hadits-hadits dha’if untuk fadhaa-ilul a’maal, meskipun sudah disebutkan syarat-syaratnya.” [ Lihat Uluumul Hadiits wa Musthalaahuhu (hal. 211), oleh Dr. Subhi Shalih, cet. 1982 M]


Birokrasi Ilahiyyah (bagian 1)


mengenal Birokrasi Ilahiyyah (bagian 1)

Birokrasi Ilahiyyah merupakan jalinan hubungan makhluk Allah dengan sosok yang telah ditunjuk-Nya sebagai perantara (wasilah) yang dapat menyampaikan kepada Allah Al-Khaliq. Jalinan Birokrasi Ilahiyyah dimulai pada saat Nabi Adam As sebagai manusia pertama mengawali hirarki Kenabian dan Kerasulan hingga Nabi Muhammad Saw. Setelah Nabi Muhammad Saw jalinan tersebut masih berlangsung hingga kini. Hanya saja saat ini kepemimpinan Birokrasi Ilahiyyah bukanlah kepemimpinan Kenabian yang bimbingannya melalui wahyu, tapi berupa Hikmah Al-Quran.
Allah SWT berfirman: Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al-Hikmah serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Kuasa lagi Bijaksana. (Q.S. Al-Baqarah: 129)

Allah menganugerahkan al Hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. (Q.S. Al-Baqarah: 269)
Landasan Birokrasi Ilahiyyah adalah Al-Quran dan As-Sunnah. As Sunnah merupakan manifestasi (perwujudan) aturan wahyu yang diterapkan oleh Nabi Muhammad Saw dan para Khalifah Beliau. Dan setiap Khalifah di setiap zaman yang memiliki legalitas Waratsatul Anbiya untuk melakukan upaya tajdid (pembaharuan) atas pemahaman dan penerapan kedua dasar aturan hukum (Al-Quran dan Al-Hadits). Melalui tajdid (renewal) inilah lahir kaidah-kaidah hukum terbaru sebagai Sunnah Khalifah Rasulullah Saw. Dasar tujuan tajdid adalah menuju kondisi lebih baik dalam berbagai aspek pemikiran, pemahaman, dan pengamalan ajaran Islam.
Keberadaan Birokrasi Ilahiyyah sendiri merujuk kepada figur yang merupakan pewaris para Nabi. Sebagai pemegang tongkat kepemimpinan Ilahiyyah ia memiliki misi untuk menyampaikan nilai-nilai yang Haq dan Shidiq (lurus), kepada seluruh umat manusia. Kepemimpinannya tidak berharap kepada kejayaan dan target-target kesenangan duniawi yang Fana. Sosok kepemimpinannya tidak juga berharap kepada upah atas apa yang telah diusahakannya (laa yas-alukum ajra).

Dengan melalui bimbingan Birokrasi Ilahiyyah, seseorang yang masuk di dalamnya diharapkan dapat meraih keselamatan dan kebahagiaan, itulah keinginan fitrah setiap insan. Nilai keselamatan yang tersirat pada makna ‘Islam’ adalah tujuan utama seorang makhluk yang bergabung dalam Birokrasi Ilahiyyah.

Birokrasi Ilahiyyah bukanlah gerakan untuk meraih kekuasaan semu. Kebijakannya lebih mengarah kepada pembinaan umat untuk meningkatkan kualitas kehambaan seseorang kepada Khaliq-Nya, yakni beribadah dengan benar dan tepat. Birokrasi Ilahiyyah ingin melepaskan makhluk dari jerat duniawi yang menipu, dan menjadikan perangkat duniawi pada dirinya sebagai jembatan untuk beramal dan mendekatkan diri kepada-Nya melalui jalur yang resmi.
Birokrasi Ilahiyyah mengajarkan umat untuk menerapkan aturan dan perilaku Shidiq, yakni mengawali dengan cara yang Shidiq (benar an tepat), dan mengakhiri segala sesuatu dengan cara yang Shidiq pula. Hal ini sejalan dengan do’a yang selalu disenandungkan dalam Birokrasi Ilahiyyah,

Dan katakanlah: "Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku dengan cara masuk yang benar dan keluarkanlah aku dengan cara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuatan yang menolong” . (Q.S. Al-Isra: 80)

Tidak ada paksaan dalam agama ; (Q.S. Al-Baqarah: 256).
Tidak ada paksaan untuk memasuki Birokrasi Ilahiyyah. Suka rela dan lahirnya sebuah kesadaran adalah sikap dasar seseorang berada dalam naungan Birokrasi Ilahiyyah. Oleh karenanya ajaran Birokrasi Ilahiyyah mengembangkan selalu nilai Rahmatan lil ’alamin, yang menghindari intimidasi atau pemaksaan faham kepada orang atau kelompok tertentu. Bahkan kebijakannya melindungi umat yang berkeyakinan berbeda, sepanjang tidak mengganggu perjalanan Dienul Islam di tengah umat.

Kekhilafahan dalam Birokrasi Ilahiyyah saat ini merupakan kategori kepemimpinan Shiddiqin, yakni peringkat kualitas ketaqwaan di bawah para Nabi. Namun demikian, bimbingan Kenabian pada Birokrasi Ilahiyyah masih berlanjut, karena Mandataris Ialhiyyah merupakan pewaris ajaran para Nabi.
Meski figur yang bermartabat Kenabian sudah berlalu Nabi Muhammad Saw mengukuhkan adanya kepemimpinan setelah Beliau Saw wafat,
“Hendaklah engkau berpijak atas Sunnahku dan sunnah Khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk dan hidayah (setelahku), peganglah kuat-kuat atasnya dan gigitlah dengan gigi gerahammu (biar tidak lepas)”. (HR. Tirmidzi)

Kepemimpinan Birokrasi Ilahiyyah hanya dapat disentuh dan dicium aroma kebijakannya oleh hamba-hamba-Nya yang berjiwa bersih dan bersikap lurus atas jalan Dien-Nya. Bukti-bukti lurusnya ajaran Birokrasi Ilahiyyah tampak pada bukti-bukti lahiriyyah, meski nilai ajarannya masih asing dalam pandangan kebanyakan orang.
Isyarat keberadaan kepemimpinan Ilahiyyah ini dapat diperoleh melalui:
1. Nash Al-Quran dan Al-Hadits, yakni bagi mereka yang memahami seluk beluk pengetahuan Syar’iyyah.

2. Bimbingan Ruhaniyah, termasuk di dalamnya Ru’yatush-Shadiqah (mimpi yang benar). Isyarat ini diperoleh bagi mereka yang diberikan karunia ghaibiyah (alam ghaib). Orang-orang yang shaleh biasanya mudah tersentuh dengan isyarat ruhani yang shahih, sehingga mereka dapat menentukan figur Petugas Allah yang turun pada setiap zaman.
3. Adanya tajdid, sebagai kebijakan terkini yang dapat menjadi pedoman umat membedah berbagai menjawab hal-hal yang mustahdatsat (persoalan-persoalan baru) duniawi dan ukhrawi). Makna tajdid di sini bukanlah mengganti atau mengubah agama, akan tetapi adalah mengembalikan Dienul Islam kepada khithah atau memurnikan ajarannya dari pengaruh-pengaruh batil.

Kepemimpinan Ilahiyyah (Mandataris) tidak memiliki kriteria syarat-syarat yang ditentukan berdasarkan ijtihad para Ulama atau kaum muslimin. Mengapa demikian? Karena Kepemimpinan Birokrasi Ilahiyyah bukanlah kepemimpinan Dinasti (keluarga), dan juga bukan kepemimpinan yang dibangun lewat jalur demokrasi (suara terbanyak), yang bisa diestafetkan secara turun temurun kepada garis keturunan. Mandataris Ilahiyyah adalah benar-benar dipilih oleh Allah ‘Azza wa Jalla melalui mekanisme ruhani, yang sering terjadi tanpa adanya saksi lahir.
Perjuangan Birokrasi Ilahiyyah dapat melahirkan kemakmuran bagi suatu negeri manakala penduduknya mengimani keberadaannya. Karena figur Birokrasi Ilahiyyah merupakan kepanjangan tangan Allah, Pemilik Kerajaan langit dan bumi.

Kekokohan jalinan Birokrasi Ilahiyyah ini tidak terukur oleh parameter keilmuan lahiri. Sebab nilai Kerajaan Allah tak bisa tergapai oleh perangkat inderawi.
Di tengah persimpangan umat mencari pemimpin yang menyelamatkan, dan di saat rakyat Indonesia ditawari dan diiming-iming oleh pemimpin semu duniawi, kami mengusung nama Syekh al-Akbar hadir memperkenalkan dimensi kepemimpinan lain, yang lebih luas dimensi dan jangkauannya.

Keberadaan nilai-nilai Ilahiyyah akan membawa umat dan rakyat kepada keselamatan. Rahmat Birokrasi Ilahiyyah menghendaki seluruh manusia melakukan pendekatan fitrah terhadap seluruh aspek kehidupan termasuk pendekatan pemahaman keagamaan. Sebab fitrah manusia diciptakan sama, dan Al-Islam diciptakan selaras dengan fitrah manusia.
Urgensi Pentingnya Pemimpin Umat
Perjalanan manusia dalam kehidupan di dunia ini telah dilengkapi dengan fasilitas ‘buku petunjuk’ dari Allah SWT. Buku petunjuk itu merupakan suatu pedoman atau konsep besar (makro) untuk meraih keselamatan dan kebahagiaan. Konsep besar ini diturunkan melalui kepemimpinan yang telah dirancang-Nya.

Kalau kita amati, Dienul Islam tidak dibawa hanya oleh Nabi Muhammad Saw saja, tapi telah diusung sejak Nabi Adam As hingga disempurnakan pada masa Nabi Muhammad Saw. Bahkan berkembangnya Islam hingga saat ini menjadi bukti nyata keberadaan para pewarisnya.

Abhizaloe Rizal

Jumat, 14 Agustus 2009

Apakah Doa Bisa Merubah Ketentuan takdir?


Apakah Doa Bisa Merubah Ketentuan?
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin ditanya : “Apakah do’a berpengaruh merubah apa yang telah tertulis untuk manusia sebelum kejadian?”

Jawaban beliau
Tidak diragukan lagi bahwa do’a berpengaruh dalam merubah apa yang telah tertulis. Akan tetapi perubahan itupun sudah digariskan melalui do’a.

Janganlah anda menyangka bila anda berdo’a, berarti meminta sesuatu yang belum tertulis, bahkan do’a anda telah tertulis dan apa yang terjadi karenanya juga tertulis. Oleh karena itu, kita menemukan seseorang yang mendo’akan orang sakit, kemudian sembuh, juga kisah kelompok sahabat yang diutus nabi singgah bertamu kepada suatu kaum. Akan tetapi kaum tersebut tidak mau menjamu mereka. Kemudian Allah mentakdirkan seekor ular menggigit tuan mereka. Lalu mereka mencari orang yang bisa membaca do’a kepadanya (supaya sembuh). Kemudian para sahabat mengajukan persyaratan upah tertentu untuk hal tersebut. Kemudian mereka (kaum) memberikan sepotong kambing. Maka berangkatlah seorang dari sahabat untuk membacakan Al-Fatihah untuknya. Maka hilanglah racun tersebut seperti onta terlepas dari teralinya. Maka bacaan do’a tersebut berpengaruh menyembuhkan orang yang sakit.

Dengan demikian, do’a mempunyai pengaruh, namun tidak merubah Qadar. Akan tetapi kesembuhan tersebut telah tertulis dengan lantaran do’a yang juga telah tertulis. Segala sesuatu terjadi karena Qadar Allah, begitu juga segala sebab mempunyai pengaruh terhadap musabab-nya dengan izin Allah. Maka semua sebab telah tertulis dan semua musabab juga telah tertulis.

Sumber : Tanya Jawab Tentang Qadha dan Qadar, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin’, penerbit Pustaka At-Tibyan

Sebab Kerasnya Hati (Ibnu Qayyim)

Mengapa Hati Membatu?

Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan dalam kitabnya Bada’i al-Fawa’id [3/743], “Tatkala mata telah mengalami kekeringan disebabkan tidak pernah menangis karena takut kepada Allah ta’ala, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya keringnya mata itu adalah bersumber dari kerasnya hati. Hati yang paling jauh dari Allah adalah hati yang keras.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdoa kepada Allah agar terlindung dari hati yang tidak khusyu’, sebagaimana terdapat dalam hadits, “Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari hawa nafsu yang tidak pernah merasa kenyang, dan dari doa yang tidak dikabulkan.” (HR. Muslim [2722]).

Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir radhiyallahu’anhu, dia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah keselamatan itu? Apakah keselamatan itu?”. Maka Nabi menjawab, “Tahanlah lisanmu, hendaknya rumah terasa luas untukmu, dan tangisilah kesalahan-kesalahanmu.” (HR. Tirmidzi [2406], dia mengatakan; hadits hasan. Hadits ini disahihkan al-Albani dalam Shahih at-Targhib [2741]).

Abu Sulaiman ad-Darani rahimahullah mengatakan [al-Bidayah wa an-Nihayah, 10/256], “Segala sesuatu memiliki ciri, sedangkan ciri orang yang dibiarkan binasa adalah tidak bisa menangis karena takut kepada Allah.”

Di antara sebab kerasnya hati adalah :

* Berlebihan dalam berbicara
* Melakukan kemaksiatan atau tidak menunaikan kewajiban
* Terlalu banyak tertawa
* Terlalu banyak makan
* Banyak berbuat dosa
* Berteman dengan orang-orang yang jelek agamanya

Agar hati yang keras menjadi lembut
Disebutkan oleh Ibnu al-Qayyim di dalam al-Wabil as-Shayyib [hal.99] bahwa suatu ketika ada seorang lelaki yang berkata kepada Hasan al-Bashri, “Wahai Abu Sa’id! Aku mengadu kepadamu tentang kerasnya hatiku.” Maka Beliau menjawab, “Lembutkanlah hatimu dengan berdzikir.”

Sebab-sebab agar hati menjadi lembut dan mudah menangis karena Allah antara lain :

* Mengenal Allah melalui nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan-Nya
* Membaca al-Qur’an dan merenungi kandungan maknanya
* Banyak berdzikir kepada Allah
* Memperbanyak ketaatan
* Mengingat kematian, menyaksikan orang yang sedang di ambang kematian atau melihat jenazah orang
* Mengkonsumsi makanan yang halal
* Menjauhi perbuatan-perbuatan maksiat
* Sering mendengarkan nasehat
* Mengingat kengerian hari kiamat, sedikitnya bekal kita dan merasa takut kepada Allah
* Meneteskan air mata ketika berziarah kubur
* Mengambil pelajaran dari kejadian di dunia seperti melihat api lalu teringat akan neraka
* Berdoa
* Memaksa diri agar bisa menangis di kala sendiri

[diringkas dari al-Buka' min Khas-yatillah, hal. 18-33 karya Ihsan bin Muhammad al-'Utaibi]

Tidak mengamalkan ilmu, sebab hati menjadi keras

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Disebabkan tindakan (ahli kitab) membatalkan ikatan perjanjian mereka, maka Kami pun melaknat mereka, dan Kami jadikan keras hati mereka. Mereka menyelewengkan kata-kata (ayat-ayat) dari tempat (makna) yang semestinya, dan mereka juga telah melupakan sebagian besar peringatan yang diberikan kepadanya.” (QS. Al-Maa’idah : 13).

Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa kerasnya hati ini termasuk hukuman paling parah yang menimpa manusia (akibat dosanya). Ayat-ayat dan peringatan tidak lagi bermanfaat baginya. Dia tidak merasa takut melakukan kejelekan, dan tidak terpacu melakukan kebaikan, sehingga petunjuk (ilmu) yang sampai kepadanya bukannya menambah baik justru semakin menambah buruk keadaannya (lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 225)

Zahrotul 'Azizah 'Hendrita N'

Rabu, 12 Agustus 2009

QODHO' DAN QODHAR


Iman Kepada Qadha dan Qadar


Definisi

Qadha` secara bahasa adalah ketetapan hukum, firman Allah, “Dan telah Kami tetapkan terhadap bani Israil dalam kitab itu... “ (Al-Isra`: 4).

Secara istilah qadha’ adalah perkara yang Allah tetapkan pada makhlukNya dalam bentuk penciptaan, peniadaan atau perubahan.

Qadar secara bahasa adalah takdir (ukuran, kadar dan ketentuan), firman Allah, “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Al-Qamar: 49). Firman Allah, “Lalu Kami tentukan (bentuknya), maka Kami-lah sebaik-baik yang menentukan.” (Al-Mursalat: 23).

Takdir adalah perkara yang Allah takdirkan di azal untuk terjadi pada makhlukNya.

Oleh karena itu kami katakan, bahwa qadha’ dan qadar memiliki arti berbeda jika berkumpul dan arti sama jika terpisah sesuai dengan ucapan ulama, keduanya adalah kata jika berkumpul terpisah dan jika terpisah berkumpul. Kalau dikatakan ini adalah qadar Allah maka ia mencakup qadha’. Kalau keduanya disebut secara bersama maka masing-masing mempunyai makna sendiri.

Kewajiban beriman kepada takdir

Takdir sebagai salah satu rukun iman merupakan perkara yang tidak diperselisihkan di kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Rasulullah saw menetapkannya dalam hadits Jibril,


أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرَسُوْلِهِ وَاليَوْمِ الأَخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ .

“Engkau beriman kepada Allah, para malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasulNya, kepada Hari Akhir dan engkau beriman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Takdir baik adalah yang sejalan dengan tabiat manusia di mana dengannya dia menjadi baik, berbahagia dan tenang, semua itu dari Allah.

Buruk dalam takdir adalah yang tidak sejalan dengan tabiat manusia di mana dengannya dia tertimpa kesulitan dan kesengsaraan.

Musykil, Bagaimana dikatakan takdir buruk sementara keburukan tidak patut dinisbatkan kepada Allah sebagaimana dalam hadits, “Dan keburukan tidak dinisbatkan kepadaNya.” (HR. Muslim)?

Jawab, Keburukan pada takdir tidak berdasarkan kepada takdir Allah padanya akan tetapi berdasarkan apa yang ditakdirkan, di sini ada qadar yang merupakan takdir dan apa yang ditakdirkan sebagaimana ada penciptaan dan apa yang diciptakan (makhluk), ada iradah (keinginan) dan apa yang diinginkan, kalau berdasar kepada takdir Allah maka ia bukan keburukan, justru ia baik bahkan seandainya itu menyengsarakan dan merugikan seseorang serta tidak sesuai dengan tabiatnya. Kalau berdasarkan apa yang ditakdirkan maka ada yang baik dan ada yang buruk. Jadi maksud dari takdir baik dan buruk adalah apa yang ditakdirkan baik dan buruk.

Contohnya adalah firman Allah, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka.” (Ar-Rum: 41).

Di dalam ayat ini Allah menjelaskan kerusakan yang terjadi, pemicunya dan tujuan darinya. Kerusakan adalah keburukan, pemicunya adalah perbuatan buruk manusia dan tujuannya adalah, “Supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Kerusakan yang terlihat di daratan dan lautan mengandung hikmah meskipun ia sendiri buruk akan tetapi karena hikmahnya yang besar maka pentakdirannya menjadi baik.

Begitu pula kemaksiatan dan kekufuran, ia adalah keburukan, ia termasuk takdir Allah akan tetapi karena hikmah yang besar, kalau bukan karena itu niscaya batallah syariat, kalau bukan karena itu niscaya penciptaan manusia hanyalah main-main, kalau bukan karena itu niscaya tidak diketahui mana yang taat dalam arti sebenarnya, kalau bukan kerena itu niscaya tidak dibedakan mukmin sejati dengan mukmin yang berpuara-pura, dan begitu seterusnya.

Demikian pula musibah yang menimpa seseorang dalam bentuk lenyapnya harta atau wafatnya kerabat atau sakitnya diri sendiri, ia buruk karena ia tidak sejalan dengan keinginannya, akan tetapi ia baik dari sisi hikmah yang terkandung di dalamnya. Dengan lenyapnya harta seseorang mengetahui bahwa ia tidak kekal, dengan wafatnya kerabat dia mengatahui bahwa manusia pasti mati, dengan begitu dia akan berbekal, dengan sakit dia menyadari nikmat sehat, dan begitu seterusnya.

Iman kepada takdir baik dan buruknya tidak menuntut iman kepada segala apa yang ditakdirkan karena apa yang ditakdirkan terbagi menjadi kauni dan syar'i. Apa yang ditakdirkan secara kauni; Apabila Allah mentakdirkan sesuatu yang tidak kamu sukai atasmu maka ia pasti terjadi, kamu rela atau tidak.

Apa yang ditakdirkan secara syar'i: Mungkin dilaksanakan oleh seseorang dan mungkin tidak, akan tetapi dengan melihat kepada kerelaan kepadanya maka harus diperinci, jika ia adalah ketaatan kepada Allah maka wajib rela kepadanya, jika ia adalah kemaksiatan maka wajib dibenci, dihindari dan dilenyapkan

Dari sini maka kita wajib beriman kepada segala apa yang diputuskan dari sisi di mana ia merupakan qadha dari Allah. Adapun dari sisi ia sebagai keputusan maka kita mungkin rela dan mungkin tidak, seandainya kekufuran terjadi pada seseorang maka kita tidak rela terhadap kekufuran darinya akan tetapi kita rela sebagai ketetapan dari Allah.

Dari Syarah al-Aqidah al-Wasithiyah, Ibnu Utsaimin.

Penyimpangan Akhidah 4


Menyelewengkan Makna Syahadat, Wujud Penyimpangan Akidah 4


Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah menjelaskan: “Jika dikatakan telah jelas makna ‘Al-Ilah’ dan ‘Al-Ilahiyyah’, lalu bagaimana jawaban terhadap orang yang memaknakannya dengan ‘Yang Maha Kuasa untuk menciptakan’ atau ungkapan-ungkapan selainnya (dalam makna tauhid rububiyyah)? Jawabannya dari dua sisi:
Pertama: Ucapan ini termasuk dari ucapan yang mubtada’ (diada-adakan) dan tidak ada seorang ulama pun yang mengatakan demikian. Tidak pula para imam, ulama, dan ahli bahasa sekalipun yang (memaknakan) dengan apa yang kita sebutkan. Sehingga ucapan ini adalah batil.
Kedua: Jika kita menerima makna demikian, maka ini memang salah satu kandungan maknanya dan memang semestinya sesembahan yang benar adalah yang berkuasa menciptakan, atau mengadakan dari yang semula tidak ada menjadi ada. Dan jikalau (sesembahan itu) tidak demikian sifatnya, maka dia bukanlah sesembahan yang benar. Namun bukan berarti bahwa orang yang meyakini bahwa makna Al-Ilah adalah tidak ada yang kuasa menciptakan kecuali Allah, dia telah masuk ke dalam Islam dan telah melakukan sesuatu yang dituju yang menjadi kunci pintu keselamatan (surga). Ini tidak diucapkan oleh seorangpun. Karena ini berkonsekuensi bahwa orang-orang kafir Arab di masa dahulu adalah muslimin. Jika ada sebagian orang belakangan ini menganggap demikian, berarti dia telah salah dan telah dibantah oleh dalil-dalil sam’i (naqli) dan aqli.” (Taisiril ‘Aziz Al-Hamid, hal. 80)
Dari pembahasan ini kita mengetahui bahwa:
1. Memaknakan Laa Ilaha illallah dengan ‘tidak ada yang menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberi rizki kecuali Allah’ adalah makna batil.
2. Kaum musyrikin jahiliyah lebih mengetahui makna Laa Ilaha illallah daripada sebagian kaum muslimin sekarang ini.
3. Kaum musyrikin dahulu meyakini bahwa tidak ada yang menciptakan, mematikan, menghidupkan, memberi rizki, dan mengatur alam ini melainkan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
4. Kaum musyrikin jahiliyah dahulu lebih ringan tingkat penyelewengannya terhadap kalimat Laa Ilaha illallah daripada kaum muslimin yang melakukan kesyirikan di masa sekarang ini, ditinjau dari beberapa sisi:
a. Dahulu mereka menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta'ala bila dalam keadaan senang saja. Sedangkan bila mendapatkan malapetaka dan musibah, mereka mengikhlaskan permintaan mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Adapun kaum musyrikin (dari kalangan muslimin) sekarang ini, mereka melakukan kesyirikan baik ketika gembira atau mendapatkan ujian dan malapetaka.
b. Dahulu mereka menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan pribadi-pribadi yang mulia, seperti para malaikat, para nabi, dan orang-orang shalih, atau dengan sesuatu yang tidak bisa berbuat apa-apa seperti batu atau pohon-pohon. Adapun kaum musyrikin sekarang menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan orang-orang yang terkenal kerusakan dan kebejatannya di dalam agama. (Kasyfus Syubhat hal. 59 dan seterusnya)

Kedua: Mengeluarkan keyakinan yang benar dari zat segala sesuatu dan memasukkan keyakinan yang benar hanya kepada Dzat Allah.
Memaknakan لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ dengan makna ini adalah batil dari banyak sisi:
1. Bertentangan dengan bimbingan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang membolehkan kita untuk meyakini sesuatu selain tentang Allah, seperti dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

كَلاَّ لَوْ تَعْلَمُوْنَ عِلْمَ الْيَقِيْنِ. لَتَرَوُنَّ الْجَحِيْمَ. ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِيْنِ

“Janganlah begitu, jika kalian mengetahui dengan pengetahuan yang yakin niscaya kalian akan benar-benar melihat neraka Jahim dan sesungguhnya kalian benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yakin.” (At-Takatsur: 5-7)
Diriwayatkan dari Abu Sa’id radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلاَتِهِ فَلْيُلْغِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى الْيَقِيْنِ، فَإِذَا اسْتَيْقَنَ بِالتَّمَامِ فَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ وَهُوَ قَاعِدٌ، فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعَتَا لَهُ صَلاَتَهُ وَإِنْ صَلَّى أَرْبَعًا كَانَتَا تَرْغِيْمًا لِلشَّيْطَانِ

“Apabila seseorang ragu di dalam shalatnya, maka hendaklah dia berusaha menghilangkan keraguannya dan kemudian dia membangunnya di atas keyakinan. Jika dia benar-benar yakin, hendaklah dia sujud dua kali dalam keadaan duduk. Jika dia ternyata shalat lima rakaat berarti dua sujud itu telah menggenapkan shalatnya, dan jika dia shalat empat rakaat berarti dia telah mengundang kemurkaan setan.”3
2. Menyelisihi apa yang dipahami oleh Salafus Shalih umat ini.
3. Meyakini sesuatu yang tertangkap oleh indera dan bisa terjadi, tidaklah menyelisihi tauhid.

Ketiga: Tidak ada sesembahan kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Makna ini adalah batil dan tidak benar secara lahiriah, karena makna ini menafikan kenyataan yang ada dalam hidup. Dalam realita, ada sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta'ala yang disembah oleh hamba-hamba-Nya seperti menyembah kuburan, pohon, tempat keramat, batu-batu, jin-jin, malaikat, para nabi atau para wali.

Dari semua pemaknaan yang batil di atas, kita mengetahui betapa jauhnya sebagian kaum muslimin dari aqidah yang benar dan dari ilmu agama.
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahab berkata: “Hendaklah diketahui, bahwa kalimat yang agung ini (merupakan prinsip dasar agama Islam dan di atasnya dibangun syariat dan hukum-hukum dan akan terbedakan antara yang halal dan yang haram), merupakan dakwah para rasul dan millah (agama) Ibrahim dan millah Muhammad, yang beliau menyeru umatnya kepadanya dan beliau berjihad di atasnya. Hal ini, karena lafadz kalimat ini sendiri menunjukkan kepada dua perkara, dimana tidak akan terwujud keislaman dan keimanan melainkan dengan keduanya, baik dalam bentuk ilmu, amal dan keyakinan.
(Pertama): Menafikan kesyirikan dalam peribadatan; dan,
(Kedua): Berlepas diri dari kesyirikan dan mengikhlaskan ibadah dalam semua bentuknya. (Mulakhkhas Minhajus Sunnah, hal. 154)
Wallahu a’lam.

Catatan kaki :
1 Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 7372 dan Muslim no. 19, dari shahabat Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma.
2 Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 25 dan Muslim no. 20 dari shahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma.
3 Diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud no. 864 dan An-Nasa`i no. 1221

(Dikutip dari tulisan Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah. Judul asli Menyelewengkan Makna La ilaha illallah, Wujud Penyimpangan Akidah. URL Sumber

Eko Mei Ludi

Penyimpangan Akhidah 3


Menyelewengkan Makna Syahadat, Wujud Penyimpangan Akidah 3

Keenam: Memelihara darah, harta, dan kehormatannya.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِ اْلإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah, mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka telah melakukannya maka mereka telah memelihara dariku darah-darah mereka, harta-harta mereka, kecuali dengan hak Islam dan hisab mereka ada di tangan Allah.”2
(lihat Bayanus Syirk wa Wasa`ilihi ‘inda ‘Ulama` Asy-Syafi’iyyah, hal. 6-10 karya Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al-Khumayyis, Laa Ilaha illallah Ma’naha Wa Makanatuha, karya Asy-Syaikh Shalih Fauzan hal. 36-41)

Pemaknaan yang Keliru dari Kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ sebagai Kalimat Ikhlas
Dalam pembahasan edisi yang telah lalu, dijelaskan apa sesungguhnya makna kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ yang benar. Sebuah kalimat tauhid, kalimat ikhlas, kalimat takwa, kalimat Islam, dan kalimat ‘urwatul wutsqa. Tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah Subhanahu wa Ta'ala, itulah makna yang benar. Sebuah makna yang singkat namun padat dan memiliki konsekuensi yang demikian banyak. Makna inilah yang juga dipahami oleh kaum musyrikin dahulu sehingga mendorong mereka untuk menolak seruan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan memerangi dakwah beliau. Mereka memahami bahwa bila mereka mengikrarkan dan mengucapkan kalimat ini berarti:
a. Harus melepaskan segala keterkaitan dengan sesembahan yang mereka jadikan sebagai tuhan-tuhan selain Allah, berupa segala bentuk berhala, patung-patung, atau tempat yang dikeramatkan.

b. Harus meninggalkan segala perbudakan hawa nafsu yang menjadikan mereka gandrung dan kecanduan untuk bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala seperti merampok, berzina, membunuh, berjudi, minum khamr, berbuat dzalim, dan lain sebagainya.
Inilah realita orang-orang yang telah disebutkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah: “Orang-orang kafir di masa jahiliyah mengetahui apa yang dimaksud oleh Rasulullah dengan (seruan beliau) kepada kalimat Laa Ilaha illallah, yaitu mengesakan Allah dalam ketergantungan, dan mengingkari segala sesembahan selain Allah serta berlepas diri darinya. Di saat Rasulullah mengatakan kepada mereka: ‘Ucapkanlah Laa Ilaha illallah!’, mereka berkata: ‘Apakah dia akan menjadikan tuhan-tuhan ini menjadi satu tuhan? Ini adalah (perbuatan) yang sangat mengherankan.’ Jika engkau mengetahui bahwa orang kafir jahiliyah saja mengetahui makna (yang benar tentang kalimat Laa Ilaha illallah), maka amat naif dan sangat mengherankan jika orang-orang yang mengaku Islam namun tidak mengetahui makna kalimat Laa Ilaha illallah sebagaimana yang diketahui oleh orang-orang kafir jahiliyah. Bahkan mereka justru mengira bahwa cukup hanya mengucapkannya dengan lisan, tanpa hatinya meyakini makna-makna yang dikandungnya. Bahkan kalangan ahli pikir di antara mereka meyakini bahwa makna Laa ilaha illallah adalah tidak ada yang menciptakan, memberi rizki, kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala dan tidak ada yang mengatur urusan kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala (yakni membatasi hanya pada makna itu). Sungguh tidak ada kebaikan bagi seseorang (di dalam Islam) jika orang kafir jahiliyah lebih mengetahui makna kalimat Laa Ilaha illallah.” (Kasyfus Syubuhat, hal. 17-18)

Di antara pemaknaan batil dari kalimat ini sebagai berikut:
Pertama: Tidak ada yang menciptakan, memberi rizki, menghidupkan, mematikan dan mengatur kecuali Allah.
Pemaknaan seperti ini adalah batil, karena penafsiran ini hanya terbatas pada tauhid rububiyyah. Makna seperti ini telah diakui dan diyakini oleh kaum musyrikin jahiliyah, akan tetapi tidak menyebabkan mereka masuk ke dalam Islam dan tidak menjadikan harta dan darah mereka terjaga.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah berkata: “Kaum musyrikin menetapkan dan mempersaksikan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah Dzat pencipta, pemberi rizki. Dan mereka meyakini bahwa tidak ada yang memberi rizki, menghidupkan dan mematikan melainkan Dia, serta tidak ada yang mengatur kecuali Dia. Dan seluruh langit yang tujuh dan apa yang ada di dalamnya dan bumi yang tujuh seisinya adalah hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala dan di bawah kekuasaan dan pengaturan-Nya. Jika engkau ingin mengetahui dalil bahwa orang-orang yang diperangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mempersaksikan hal itu, adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَاْلأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ اْلأَمْرَ فَسَيَقُوْلُوْنَ اللهُ فَقُلْ أَفَلاَ تَتَّقُوْنَ

“Katakan siapakah yang memberikan rizki kepada kalian dari langit dan bumi? Siapakah yang menguasai pendengaran, penglihatan dan yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan dan yang mati dari yang hidup? Dan siapakah yang mengatur semua urusan? Maka mereka akan berkata: ‘Allah.’ Maka katakanlah: ‘Mengapa kalian tidak takut (kepada-Nya)?’.” (Yunus: 31)

قُلْ لِمَنِ اْلأَرْضُ وَمَنْ فِيْهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ سَيَقُوْلُوْنَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلاَ تَذَكَّرُوْنَ. قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ سَيَقُوْلُوْنَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلاَ تَتَّقُوْنَ. قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوْتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيْرُ وَلاَ يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ سَيَقُوْلُوْنَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُوْنَ

“Katakan: Milik siapakah bumi dan segala apa yang ada padanya jika kalian mengetahui? Mereka akan mengatakan Allah, maka katakanlah tidakkah kamu mau sadar. Katakan siapakah Rabbnya langit yang tujuh, Rabb ‘Arsy yang agung? Mereka akan mengatakan milik Allah, maka katakanlah tidaklah kalian mau bertakwa. Katakan, di tangan siapakah kekuasaan terhadap segala sesuatu dan dia tempat berlindung dan tidak akan dilindungi jika kalian mengetahui, mereka akan mengatakan: “Milik Allah, lalu kenapa kalian bisa dipalingkan.’” (Al-Mu’minun: 84-89)
[Lihat Kasyfus Syubuhat hal. 10-11]
Memaknakan Laa Ilahaillallah hanya ke dalam makna tauhid rububiyyah (tidak ada yang menciptakan, memberi rizki, menghidupkan, mematikan dan yang mengatur semua urusan kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala) semata adalah jelas kebatilannya. Jika demikian maknanya niscaya:

1. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan memerangi mereka, menghalalkan darah, kehormatan, dan harta mereka. Bagaimana mungkin beliau akan memerangi kaum yang benar aqidahnya, jika memang maknanya demikian.
2. Kaum musyrikin tidak akan menentang dan memerangi dakwah serta seruan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada kalimat Laa Ilaha illallah.
3. Tidak ada hikmah yang besar dalam hal diutusnya para nabi dan diturunkannya kitab-kitab samawi, karena tauhid rububiyyah ini ditetapkan oleh fitrah setiap manusia.
4. Usaha Iblis dan bala tentaranya tidak begitu berarti dalam penyesatan hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Ibnul Qayyim menjelaskan: “Apa yang ditunjukkan oleh kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah) dalam menetapkan hak peribadatan, lebih tinggi dibandingkan dengan kalimat اللهُ إِلَهٌ (Allah adalah sesembahan). Karena ucapan ini tidak mengandung makna penafian terhadap sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. Berbeda dengan ucapan لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. Kalimat ini menuntut pembatasan hak ibadah itu bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menafikan selain-Nya. Salah besar jika ada orang yang menafsirkan makna لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ dengan ‘Tidak ada yang mampu menciptakan kecuali Allah semata’.”