Selasa, 16 Agustus 2011

Karena Firman-Mu Aku Berdo’a


Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah berfirman:

“…Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, istri-istrimu, kaum keluargamu, harta bendamu, perniagaan yang kau takuti kerugiannya, dan rumah mewah yang kamu sukai, lebih kamu cintai dari pada Allah dan RasulNya, dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (Q.s. At –Taubah : 24)

Ya Allah…
Aku telah jatuh cinta kepada seorang wanita yang Kau pilih untuk mendampingiku.
Jadikanlah ia wanita yang melabuhkan cintanya kepada-Mu agar bertambah kekuatanku untuk mencintai-Mu, dan jagalah cintaku padanya agar tak melebihi cintaku pada-Mu…

Ya Allah…
Aku telah jatuh cinta kepadanya….
Jadikanlah hatinya selalu tertaut pada-Mu, sehingga aku menyintai seseorang yang tawakal pada-Mu, dengan begitu aku tidak terjatuh dalam jurang cinta semu. Jagalah hatiku darinya agar aku tidak berpaling dari-Mu…

Ya Rabbal ‘izzah…
Jika aku merindukannya, jagalah rinduku padanya agar aku tidak lalai akan kerinduan kepada surga-Mu. Jangan biarkan aku melampaui batas dalam rindu, sehingga melupakan rindu hakiki bertemu dengan-Mu. Ya Rabb, aku telah menikmati cintanya, janganlah kenikmatan itu melebihi kenikmatan bermunajat kepada-Mu. Ya Rabb, aku jatuh hati padanya., jangan biarkan aku terbuai asmara sehingga melupakanku untuk selalu menyeru manusia ke jalan-Mu.

Ya Tuhanku…
Aku tidak meminta seseorang istri yang sempurna dari sisi-Mu, tidak ya Rabb…
karena Engkau pun pasti Maha Mengetahui sesungguhnya keadaanku, aku bukan orang yang sempurna. Engkau tahu aku sering menerjang larangan-Mu, sering mengabaikan perintah-Mu,
dan akupun tahu, tiada seorangpun yang sempurna di dunia ini dari kesalahan atau kekurangan.

Maka, aku meminta pada-Mu seorang istri yang tak sempurna, sehingga ia merasa sempurna ketika diriku hadir dalam kehidupannya karena-Mu…
Istri yang kusayangi karena kelembutan hatinya
Istri yang kucintai karena keindahan akhlaknya
Istri yang kukasihi karena kehalusan budinya
Istri yang kukagumi karena kesantunan sikapnya
Istri yang kupuja karena kerendahan hatinya
Istri yang ku rindukan karena kesederhanaannya
Istri yang mau menerimaku setulus hatinya…
Istri yang tak akan pernah ku menduakan cintanya hingga akhir hayatku tiba…
Istri yang ku hibur hatinya bila ia bersedih
Istri yang ku seka air matanya ketika ia menangis
Istri yang ku jadikan pundakku tempatnya bersandar saat ia lelah
Istri yang ku dengar seksama segala kesahnya
Istri yang ku pertaruhkan nyawaku demi menjaga kehormatannya
Istri yang ketulusan dan kesetiaan hati ini selalu untuknya…
Istri yang slalu kujanjikan membersamainya hingga malaikat maut menjemputku tiba…

Ya Rabby…
Tuhan yang memegang rahasia segala sesuatu,
jadikanlah aku ridha terhadap apa-apa yang Engkau tetapkan, jadikan barakah apa-apa yang Engkau takdirkan, sehingga aku tidak ingin menyegerakan apa-apa yang masih Engkau tunda, atau menunda apa-apa yang Engkau segerakan.

Wahai Tuhan yang memegang hikmah segala sesuatu…
andai Engkau berkehendak lain,
sesungguhnya sebenar-benarnya kehidupan adalah kehidupan akhirat,
maka jadikanlah kehendak-Mu bukan kehendakku…
sesungguhnya aku tidak mengetahui, sedangkan Engkau Maha Mengetahui,
takdirkanlah kebaikan bagiku di manapun adanya, dan jadikanlah hatiku meridhainya…
Amin…



Al Faqir ilallah


Darmawan Islam

ISTRIKU…, Mari Merenung Sejenak


Bismillahirrahmanirrahim
“ Wal ‘Asr, Innal Insana lafi husr. Illalladzina amanu wa ‘amilusalihati WATAWASOU BIL HAQQI WA TAWASOU BISSOBR”

Wahai Istriku….
Marilah kita ta’aruf lebih dalam lagi, agar kita mengenal lebih jauh tentang diri kita masing-masing. Engkau adalah wanita yang dipilih oleh Allah untuk mendampingiku, tidak ada paksaan dari siapapun dan pihak manapun. Kita sama-sama punya komitmen saling percaya, mengiklaskan diri kita masing-masing untuk menjalin ikatan suci yang disebutkan oleh Al-Qur’an sebagai “mitsaqan ghalidza”. Walaupun sebelumnya kita tidak mengenal jauh tentang pribadi masing-masing, namun aku begitu yakin bahwa Allah yang menaqdirkan kita untuk bertemu dan sama-sama bersepakat menuju pelaminan dengan niat yang sama, yaitu menikah dengan motivasi beribadah. Maka engkau memahami bahwa cinta kita “terbingkai” dalam agama, sehingga segala perbedaan tak lagi bermakna. Apapun resikonya dalam pelaksanaan ibadah, tetap akan kita jalani dengan penuh sabar dan tawakal kepada Allah, sampai kita bertemu dengan-Nya dalam keadaan tersenyum. “Fa’bud Rabbaka hatta ya’tiyakal yakin”.

Wahai Istriku…..
Ijinkanlah aku berkata kepadamu untuk menyingkap tabir di balik pernikahan kita. Bahwa lelaki yang menikahimu: Tidaklah setampan Yusuf, tidaklah segagah Musa. Tidaklah setaat Ibrahim, tidak pula setabah Ayyub. Apalagi secerdas Muhammad. Tetapi ia hanyalah laki-laki akhir zaman yang ingin memperbaiki diri untuk menjadi shalih, serta mendamba pada Allah semoga Ia menganugerahkan mujahid dakwah yang “tercipta” dari rahim-mu. Aku adalah pria yang tiada sempurna, sehingga aku merasa sempurna ketika Allah menakdirkan engkau hadir dalam kehidupanku, untuk selalu setia di sampingku saat senang maupun susah.

Wahai Istriku…..
Pernikahan ini mengajarkan kita tanggung jawab bersama. Apabila dibuat perumpamaan mungkin seperti ini:

Jika aku menjadi rumah, engkaulah penghuninya. Jika aku nahkoda kapal, engkaulah pembaca petanya. Jika aku bagai anak kecil yang nakal, engkaulah penuntun kenakalannya. Saat aku menjadi Raja, nikmatilah anggur singgasananya. Seketika aku menjadi “bisa”, engkaulah penawar racunnya. Seandainya aku sedang marah, maka bersabarlah saat memperingatkan.
Engkau tentu tahu, bahwa perrnikahan ini menyadarkan kita akan perlunya iman dan takwa, untuk bersama meniti sabar dalam mencari ridha-Nya…

Wahai Istriku……
Engkau wanita yang dipilih oleh Allah untuk mendampingiku. Ijinkanlah aku berkata kepadamu untuk menyingkap tabir pernikahan ini, aku tidak bermaksud menyinggungmu, apalagi menyakitimu. Tidak…, bukan itu maksudku. Aku ingin kita sama – sama memahami kekurangan dan kelemahan kita dihadapan Allah. Wahai istriku, engkau tentu menyadari bahwa:

Engkau tidaklah selembut Zulaikha, tidak pula sesantun Aisyah,tidaklah setakwa Maryam, tidak pula setabah Fathimah, apalagi semulia Khadijah. Akan tetapi engkau adalah perempuan akhir zaman yang ingin memperbaiki diri, untuk belajar menjadi seorang wanita shalihah, mendamba generasi shalihah yang “tercipta” dari rahim-mu. Engkau adalah wanita yang tidak sempurna, sehingga kau merasa sempurna ketika Allah menakdirkan aku hadir dalam kehidupanmu, untuk selalu setia menemanimu saat senang maupun susah…
Wahai Istriku....
Pernikahan ini mengajarkan kita kewajiban bersama, bila dibuat perumpamaan yang lain mungkin seperti ini:

Jika kau menjadi tanah, akulah langit penaungnya. Jika kau ladang tanaman, akulah pagar penjaganya. Jika kau adalah murid, akulah pembimbingnya. Jika kau bagaikan anak kecil, akulah tempat bermanjanya. Saat kau menjadi madu, aku akan meneguk sepuasnya. Seketika kau menjadi racun, akulah penawar “bisa”-nya. Seandainya kau tulang yang bengkok, maka aku berusaha lemah lembut saat meluruskannya. Wahai istriku, pernikahan ini menyadarkan kita akan perlunya iman dan takwa, untuk bersama meniti sabar dalam menggapai ridhaNya…

Wahai Istriku….
Engkau tahu, rumah tangga itu bagaikan sebuah bahtera. Bahtera yang bersandar di pelabuhan itu memang aman dan nyaman, namun bukanlah itu tujuan dibuatnya bahtera, ia akan berlayar mengarungi samudra luas, dan kau tentu mehahami bahwa bahtera itu berlayar diatas air laut. Ada percikan di sana, ada riak di sana, ada debur di sana, ada gemuruh di sana, ada gelombang di sana, tetapi juga ada teduh…..

Wahai Istriku….
Engkau memahami bahwa langit tidak selalu biru, tidak selalu menghembuskan angin spoi –spoi yang disambut senyum mentari. Namun adakalanya ia tidak bersahabat. Ada mendung di sana, ada hujan di sana, ada kilat di sana, ada petir di sana, ada guntur di sana, ada halilintar di sana, ada badai di sana, tetapi juga ada cerah……

Setelah kita sama – sama memahami itu, tentu kau tahu wahai istriku, kita sedang menumpang bahtera yang sudah mulai melaju. Bahtera yang masih teramat baru, dan kau sudah tahu namanya kan?, bahwa bahtera itu bernama RUMAH TANGGA. Kita tidak mengharap terpaan gelombang, - memang-, namun kau tahu bagaimana karakter laut. kita juga tidak menginginkan adanya mendung dan petir, tetapi kau juga sudah faham bagaimana karakter langit. Pun kita juga tidak mendamba angin kencang apalagi badai, namun kau tentu memahami karakter udara. Istriku, walaupun kita tidak menginginkan semuanya itu, mari kita sama-sama belajar untuk mengantisipasi. Kita jaga bahtera ini mulai dari sekarang.

Wahai istriku…..
Angin dan badai itu adalah cobaan dalam perjalanan bahtera rumah tangga, wujudnya kadang berupa pertengkaran, kadang kecemburuan, kadang perselisihan, kadang fitnah, kadang perdebatan, kadang saling mendiamkan, kadang menipisnya kepercayaan, atau kadang tak sejalan. Hal itu, – kata orang - lumrah dalam bahtera rumah tangga, asal tidak selalu begitu, saling mengerti dan saling memaafkan. Orang bijak berkata: “Apabila dalam liku berumah tangga terdapat lembah duka, itu bumbunya cinta. Berduka dalam biduk rumah tangga, walau sakit terasa, itu garamnya cinta. Yang menambah nambah kasih sayang, yang menambah nambah kerinduan, yang menambah nambah keindahan, yang menambah nambah kemesraan”. Maka kesabaran, kerendah hatian, kelemah lembutan, berlapang dada, saling memahami dan saling memaafkan, adalah kunci utama untuk menjaga ikatan suci pernikahan ini.
Wahai Istriku….

Kau pernah membaca kitab kan?, - mungkin saat masih di pesantren dahulu-, bahwa di dalam setiap rumah yang di situ ada ikatan sah suami istri, pasti ada setan bernama “Dasim” yang mendekam di dalamnya. Itulah salah satu nama syetan dari sekian banyak anak buah iblis yang sengaja diutus olehnya untuk membuat makar di dalam rumah tangga. Iblis menyuruhnya agar di rumah tangga itu terjadi pertengkaran, percekcokan, perselisihan, perdebatan, bahkan mungkin saling mendiamkan, dan pada puncaknya adalah – na’udzubillah-, perceraiaan. Maka tatkala “Dasim” berhasil memisahkan suami istri itu, ia akan mendapat piala citra dari komandannya yang bernama Iblis, berupa kedudukan tinggi semacam “naik pangkat”. Begitulah penjelasan dalam sebuah riwayat.

Wahai istriku, mari kita sama-sama ber-‘azzam, untuk satukan tekat, dengan bekal iman, taqwa, dan tawakkal ‘alallah untuk membuat “Dasim” menangis tersedu – sedu di rumah kita, jangan biarkan ia memiliki celah sedikitpun untuk menipu daya kita. Sesuai dengan janji-Nya –“ Inna kaidasyaitona kana dzo’ifa”-, sesungguhnya tipu daya syetan itu lemah, dengan pertolongan Allah kita akan menang melawannya.

Wahai istriku…..
Kebahagiaan hakiki dalam pernikahan itu bukan pada menggunungnya harta yang kita kumpulkan, atau kelapangan hidup yang selalu kita dapatkan. Apabila ternyata semua itu hanyalah “istij-rat” dari Allah atas segala kelalaian kita akan kampung halaman abadi yang Dia janjikan, maka kemewahan itu tidaklah berguna. Bila semua itu menjadikan kita hamba ketenaran, yang berlomba dalam kemewahan, tak peduli lagi mana halal mana haram, hingga tibanya hari yang dijanjikan, itulah kebangkrutan yang nyata. maka pada hari kiamat para kekasih saling mengingkari, suami isteri yang di dunia dulu seperti putri dan pangeran, kini mereka bermusuhan dan saling menyalahkan, sebab mereka dahulu tidak saling melarang dalam keburukan. “Al akhilla u yaumaidzin ba’duhum liba’din ‘aduw, illalmuttaqun” (para kekasih dan teman setia di hari itu menjadi musuh bebuyutan, kecuali orang-orang yang bertaqwa). “Wanasuqul mujrimina ila jahannama wirda” (dihari itu Aku menggiring para pendosa menuju jahannam dalam keadaan meronta kehausan). Adakah kerugian yang lebih perih dibandingkan dengan digiringnya manusia ke dalam neraka…?, na’udzubillah.

Wahai Istriku….
Kebahagiaan hakiki dalam pernikahan itu ada pada barakahnya rezeki yang kita terima, serta diberikannya kita petunjuk dalam keimanan, ketakwaan, dan ketaatan, hingga tibanya ajal kita. Maka pada hari kiamat nanti para kekasih saling dipertemukan, karena seorang kekasih akan bersama lagi dengan yang dikasihinya, seorang isteri akan kembali bersama suami yang dicintainya, sebab mereka dahulu saling bersabar dalam melakukan kebaikan. “Yauma nahsyurul muttaqina ilarrohmani wafda”( dihari itu Aku ‘menyambut’ orang-orang yang bertaqwa sebagai tamu kehormatan, mendatangi surga dengan berkendaraan). Adakah keuntungan yang lebih indah dari diucapkannya “salam” yang mengiringi kita bersama orang-orang yang kita cintai utuk masuk ke dalam surga-Nya…?, “Dzalika huwal fauzul ‘adzim” ( itulah kesuksesan yang sesungguhnya).

Wahai Istriku….
Pernikahan itu bukanlah sebuah pertemuan antara Malaikat dan Bidadari, melainkan pertemuan antara seorang Adam dan seorang Hawa yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan, oleh karena itulah mereka saling melengkapi. Maka aku menyadari dengan sepenuhnya, bahwa aku tidak ingin menuntut terlalu tinggi pada engkau, karena justru aku sendirilah yang akan tersentak atas kekurangan diriku. Aku sadar, bahwa aku bukanlah Muhammad yang begitu sempurna keimanannya, aku juga bukan Ali yang begitu adil dan bijaksana dalam keluarga…

Wahai Istriku…
Engkaupun tentunya juga tidak menuntut terlalu tinggi pada sang suami, sebab justru engkau sendirilah yang akan tersentak atas kelemahan diri. Karena kau juga akan sadar, bahwa kau bukan Khadijah yang begitu sempurna dalam menjaga, dan bukan pula Fathimah yang begitu setia dalam sengsara. Aku tidak mendamba isteri sehebat Khadijah, karena aku tak semulia Rasulullah. Aku juga tidak mencari istri secantik Bilqis, karena aku tak sehebat Sulaiman.
Istriku, kau juga punya fikiran yang sama kan ?, bahwa kau tidak mengharap suami setampan Yusuf, karena kau tak setulus Zulaikha, kau juga tidak mencari suami seteguh Ibrahim, karena kau juga tak setabah Hajar dan Sarah. Kita ini hanyalah lelaki dan perempuan akhir zaman, yang ingin saling memperbaiki diri untuk belajar menjadi pria dan wanita yang shalih dan shalihah, bersama membangun keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Smile please……

Dariku, Suamimu….

Darmawan Islam

KEPADA CALON ISTRIKU.


(ku tulis surat ini 20 hari menjelang pernikahan)


“ Wahai Calon Istriku, Tegarlah Dalam Mengarungi Liku Kehidupan”

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

A’udzubillahiminasyaithani​rrajim, Bismillahirrahmanirrahim.

“Wamal hayatut dun-ya illa mata’ul ghurur”

Kepada calon istriku, belahan jiwaku, yang akan mengandung anak – anakku, mendidik mereka dengan tauqid dan akhlak yang mulia seperti yang dicontohkan oleh baginda Nabi Muhammad SAW. Surat ini kutuliskan untukmu agar engkau kelak tidak akan kecewa dan bersedih mendapatkan pasangan seperti aku yang banyak kekurangan.

Calon istriku, aku tulis surat ini kepadamu agar engkau lebih mengerti jalan yang akan kita tempuh dan apa yang akan kita tuju. Sebagai makhluk yang dibebani amanah oleh Allah di dunia yang fana ini, kita tentu harus menyadari bahwa hidup ini penuh dengan pilihan, dan setiap pilihan yang kita lalui mengandung konsekwensi sebuah resiko, entah apapun bentuknya. Aku jelaskan seperti ini agar kelak kita lebih siap untuk saling memahami, saling mengerti, dan mensyukuri setiap apa yang sudah digariskan oleh Allah kepada keluarga kita.

Calon istriku, dan calon ibu dari anak – anakku, Engkau mungkin sedah membayangkan, jalan apa yang akan kutempuh, dan kehidupan seperti apa yang kuinginkan. Aku berharap engkau menjadi teman seperjalanan dalam dunia ini untuk tetap istiqamah di jalan para Rasul dan pengikutnya. Selalu menjadikan seruan tauqid sebagai hal yang paling utama dalam hidup. dan mengajarkan kepada manusia akan pentingnya kembali kepada Allah.

Sebagai sunnah kehidupan, tentunya hidup kita tidak terlepas dari cobaan. Sebagai manusia biasa mungkin kita akan mengeluh, mengaduh, menangis, bahkan mungkin juga mengutuki nasib. Namun yakinlah bahwa semua itu adalah cara Allah untuk menjadikan kita sebagai manusia yang memiliki derajat tinggi di sisi-Nya, serta mendidik kita untuk senantiasa tegar di segala cuaca dan keadaan.

Allah berfirman “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah – buahan. Dan berilah kabar gembira kepada orang – orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka berkata: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” (Al – Baqarah: 155-156).

Calon istriku, bila kelak aku belum bisa membahagiakanmu seperti layaknya para istri lain, maafkan aku. Namun aku akan selalu berusaha sekuat tenaga untuk menjadi yang terbaik. Memberi rizki yang halal walaupun sedikit dan berusaha memenuhi kewajibanku sebagai seorang suami. Maka bantulah aku untuk mewujudkan itu walaupun hanya dengan SENYUM-MU.

Calon istriku, bila aku tidak ada di rumah, jagalah kehormatanku sebagai suamimu, bergaullah dengan para muslimah yang hatinya tertambat ke surga, yang menjaga pandangan dikala sendiri dan bersama orang lain, agar aku tenang meninggalkan seorang wanita dan seorang ibu yang menjaga kehormatan suaminya. Kelak jika kita mempunyai rumah sendiri, janganlah memasukkan seorang lelaki yang bukan mahram ke dalam rumah tanpa seizinku. Bila ada tamu laki-laki yang ingin bertemu denganku, maka katakan dengan sopan kepadanya bahwa “suamiku tidak ada di rumah”, dengan begitu hati lebih terjaga dari fitnah.

Calon istriku, engkau tahu aku bukan orang yang sempurna dalam segala hal, maka bantulah aku menyempurnakannya dengan nasehatmu yang bijak, untuk menjadikanku lebih taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jadikan keluarga kita keluarga yang siap menerima kebenaran walaupun datangnya dari anak kecil, karena kebenaran dikenali bukan dari siapa yang berbicara tetapi dari apa yang disampaikan.

Calon istriku, jadikan anak-anak kita kelak mujahid dan mujahidah dakwah yang selalu menegakkan dan membela agama Allah dimanapun berada, generasi shalihah yang selalu taat kepada Allah, Rasul, dan kedua orang tuanya. Jadikan mereka anak –anak yang tegar di tengah badai menerpa, ajarkan kepada mereka sikap berani berkorban demi kebenaran dan kemuliaan Allah.

Calon istriku, sebenarnya aku tidak banyak berharap, juga tidak menuntut yang mungkin terlalu berat, aku juga tidak memaksakannya, yang terpenting kita sama-sama berusaha maksimal dan hasilnya kita serahkan kepada Allah, “faidza ‘azzamta fatawakkal ‘alallah”. sebagai suami aku akan berusaha menjadi “Qowwam” yang baik, pendengar setia masukan dan nasehatmu, berusaha membantumu untuk senantiasa taat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Surat ini kutulis dengan segala kelemahanku, segala kekuranganku, agar engkau mengerti dengan siapakah kau akan mengarungi hidup ini. Agar engkau tahu bahwa “belanga” rumah tangga tidak selalu berisi madu dan susu. Agar engkau kelak tidak menjadi penghalangku dalam menunaikan dakwah, apalagi menjadi musuh pertama dalam perjuangan membela agama Allah, na’udzubillah min dzalik.

Sebelum kita bertemu menjadi sepasang suami istri, marilah kita berdoa bersama:

Ya Allah Dzat yang memberi para pemohon, memegang ubun-ubun seluruh makhluk, mendengar segala bisikan, menggenggam semua hati, gerakkanlah hati kami untuk selalu taat kepada perintah-Mu, memenuhi panggilan-Mu, mensyukuri karunia-Mu, dan bersabar atas cobaan-Mu. Ya Allah…, Engkau yang memerintahkan kami untuk menikah, maka kami akan melangsungkan aqad nikah semata – mata karena menuruti perintah-Mu. Maka jadikanlah pernikahan ini sebagai ladang amal shalih bagi kami. Jadikan dari setiap canda tawa dan kebahagiaan kami dalam kehidupan rumah tangga sebagai penambah pahala dari sisi-Mu. Jadikanlah lelah dan letih dalam mencari nafkah sebagai penggugur dosa-dosa kami.

Ya Allah, kami lemah, maka berikanlah kami kekuatan sehingga mampu menanggung beban hidup ini, janganlah Engkau jadikan kami orang yang lemah dalam keyakinan, sehingga selalu mengeluh apabila ditimpa cobaan dan melupakan-Mu apabila mendapat kenikmatan.

Ya Allah, sesungguhnya Nabi-Mu telah bersabda, bahwa dunia ini merupakan perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah. Ya Allah, jadikanlah calon istriku ini wanita shalihah, sehingga aku tenang dan tentram bersamanya kelak. Ya Allah jadikan aku laki laki shalih sehingga istriku nanti merasa tentram bersamaku. Ya Rabb, karuniakanlah kepada kami keturunan yang shalih dan shalihah sebagai penerus perjuangan dakwah di jalan-Mu, jadikanlah mereka anak-anak yang memudahkan kami memasuki surga-Mu, jadiklanlah mereka anak-anak yang selalu menyebut-nyebut kami dalam doanya.

Ya Allah, kami tak pandai do’a, apa yang diminta oleh Nabi-Mu itulah yang sangat kami harapkan. Dan apa yang diperlindungkan oleh Nabi-Mu itulah yang sangat kami takutkan.

Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa hati ini terhimpun dalam cinta kepada-Mu, berjumpa dalam taat kepada-Mu, bersatu dalam dakwah kepada-Mu, berpadu dalam membela syari’at-Mu. Kukuhkanlah ya Allah ikatannya, kekalkanlah cintanya, tunjukilah jalannya, penuhilah hati ini dengan nur-Mu yang tiada pernah padam, lapangkan dada kami dengan limpahan keimanan dan keindahan tawakal kepada-Mu.

Semoga Allah meng-ijabah do’a kita, mempertemukan kita dalam naungan Rahmad-Nya.

Amin…..




Dariku,
Calon suamimu
darmawan

KETIKA CINTA TERBINGKAI DALAM AGAMA, SEGALA PERBEDAAN TAK LAGI BERMAKNA…



Sujudnya panjang dan khusyu’, keluh dan resah mengalir dalam doa-doa. Rindu dan harap merangkak bersama malam yang kian kelam. Gelora jiwa merayap dalam senyap, air mata gelisah hanyut di keheningan, sedu sedan memecah sepi.
Selesai shalat pemuda itu rebah di pembaringan. Cemasnya belum lunas, gelisahnya belum tuntas. Lama sudah ia mendambakan pasangan jiwa. Hidup di jalan da’wah memang, tapi fitrah tetaplah fitrah,- walau hidup di jalan dakwah -, kesendirian selalu membakar jiwa dengan gelisah.

Maka ia-pun rebah dengan doa – doa,: ”Ya Rabb, yang mengganti siang menjadi malam dan malam menjadi siang, menurunkan kitab, menggerakkan hati, memegang ubun – ubun seluruh makhluk, memberi para pemohon. Aku mohon kepada-Mu agar Engkau mempertemukan jodohku yang telah lama aku harapkan. Apabila jauh maka dekatkanlah. Apabila sulit maka mudahkanlah. Agar dengan itu Engkau lepaskan resahku, Engkau gembirakan mataku, Engkau tenangkan jiwaku, Engkau tentramkan hatiku.

Ya Rabb, Engkau tahu, jikalau selama ini aku “menjauh” dengan lawan jenis bukan karena aku tak punya naluri itu, tetapi rasa malu kepada-Mu telah menghalangiku untuk berbuat sesuatu yang belum Engkau halalkan. Ya Rabb, andaikan tidak ada wanita shalihah yang Engkau takdirkan untuk mendampingiku di dunia ini, biarlah aku menikah di akhirat saja. Apakah dunia memang tidak menyediakan gadis impianku ?, atau pernikahan pada dasarnya memang tidak sesuai dengan kondisiku….?”

Begitulah diantara serpihan do’a MENJELANG PUTUS ASA.

Untuk menumpahkan risau hatinya, ia mengurai sebuah “puisi hasrat”:
“ Air mata mengalir bersama larut malam
Sedih mengiris hati, menyayat sanubari
Galau risau merampas tidur
Bergelut aku melawan malam
Terawangi bintang gemintang yang berkedip
Seakan turut bersedih menyaksikan batinku
Hasrat rindu mendera – dera
Melukai jiwa, mencabik sukma,
Lahirkan nestapa”
Adakah angin gunung yang mendengar keluhanku…..?

Memang hanya puisi tempat jiwanya berlari, melepas hasrat yang enggan ditinggal. Tragis memang, namun begitulah fitrah cinta menggerakkan jiwa, tabiatnya menyerupai air. Ada aliran, ada riak, ada gerak, ada gelombang, ada gemuruh, ada debur, ada percikan, ada gelora , ada dinamika. Selalu begitu, tak ada diam, tak ada berhenti. Ia membludak jika ditahan, ia membuncah jika dibendung, ia membanjir pada puncak dinamikanya.

Maka hasrat tetap saja hasrat, puisi tak akan pernah sanggup menyelesaikannya, Dan memang begitulah hukumnya. Hanya sentuhan fisik yang bisa mengobati hasrat jiwa. Rumus “Cinta tak harus memiliki” ternyata tidak berlaku baginya.

SETELAH SEKIAN LAMA, TERNYATA DOANYA TERJAWAB SUDAH.

Dengan mengharap Ridha Allah dan mengikuti Sunnah Rasul-Nya, saya : Darmawan (28) dan Halimah (20), telah melaksanakan aqad nikah pada tanggal 3 juli 2011.
Mohon do’a restu kepada semua, DI JALAN DA’WAH aku menikah.
Jalan yang menjadikan Balqis bertekuk lutut menyerahkan diri di hadapan Sulaiman. Jalan yang mengiklaskan Musa bersimpuh 10 tahun di hadapan Syu’aib. Jalan yang membuat Yusuf rela meringkuk 9 tahun dalam penjara.

Jalan yang menyebabkan Nabi Muhammad menikahi Istri-istrinya. Jalan yang menyatukan Ali Bin Abi Thalib dengan Fatimah Az - Zahra dalam sebuah keluarga. Jalan yang meluluhkan hati Ummu Sulaim sehingga menerima pinangan Abu Thalhah. Jalan yang mendorong Abdurrahman bin Auf menikahi wanita Ansar pujaannya.

Di jalan ini para Nabi menikah, di jalan ini para Salafussalih membina rumah tangga sakinah.

Kami yang bersyukur
D & H
Darmawan dan Halimah