Sabtu, 15 Agustus 2009

Birokrasi Ilahiyyah (bagian 1)


mengenal Birokrasi Ilahiyyah (bagian 1)

Birokrasi Ilahiyyah merupakan jalinan hubungan makhluk Allah dengan sosok yang telah ditunjuk-Nya sebagai perantara (wasilah) yang dapat menyampaikan kepada Allah Al-Khaliq. Jalinan Birokrasi Ilahiyyah dimulai pada saat Nabi Adam As sebagai manusia pertama mengawali hirarki Kenabian dan Kerasulan hingga Nabi Muhammad Saw. Setelah Nabi Muhammad Saw jalinan tersebut masih berlangsung hingga kini. Hanya saja saat ini kepemimpinan Birokrasi Ilahiyyah bukanlah kepemimpinan Kenabian yang bimbingannya melalui wahyu, tapi berupa Hikmah Al-Quran.
Allah SWT berfirman: Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al-Hikmah serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Kuasa lagi Bijaksana. (Q.S. Al-Baqarah: 129)

Allah menganugerahkan al Hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. (Q.S. Al-Baqarah: 269)
Landasan Birokrasi Ilahiyyah adalah Al-Quran dan As-Sunnah. As Sunnah merupakan manifestasi (perwujudan) aturan wahyu yang diterapkan oleh Nabi Muhammad Saw dan para Khalifah Beliau. Dan setiap Khalifah di setiap zaman yang memiliki legalitas Waratsatul Anbiya untuk melakukan upaya tajdid (pembaharuan) atas pemahaman dan penerapan kedua dasar aturan hukum (Al-Quran dan Al-Hadits). Melalui tajdid (renewal) inilah lahir kaidah-kaidah hukum terbaru sebagai Sunnah Khalifah Rasulullah Saw. Dasar tujuan tajdid adalah menuju kondisi lebih baik dalam berbagai aspek pemikiran, pemahaman, dan pengamalan ajaran Islam.
Keberadaan Birokrasi Ilahiyyah sendiri merujuk kepada figur yang merupakan pewaris para Nabi. Sebagai pemegang tongkat kepemimpinan Ilahiyyah ia memiliki misi untuk menyampaikan nilai-nilai yang Haq dan Shidiq (lurus), kepada seluruh umat manusia. Kepemimpinannya tidak berharap kepada kejayaan dan target-target kesenangan duniawi yang Fana. Sosok kepemimpinannya tidak juga berharap kepada upah atas apa yang telah diusahakannya (laa yas-alukum ajra).

Dengan melalui bimbingan Birokrasi Ilahiyyah, seseorang yang masuk di dalamnya diharapkan dapat meraih keselamatan dan kebahagiaan, itulah keinginan fitrah setiap insan. Nilai keselamatan yang tersirat pada makna ‘Islam’ adalah tujuan utama seorang makhluk yang bergabung dalam Birokrasi Ilahiyyah.

Birokrasi Ilahiyyah bukanlah gerakan untuk meraih kekuasaan semu. Kebijakannya lebih mengarah kepada pembinaan umat untuk meningkatkan kualitas kehambaan seseorang kepada Khaliq-Nya, yakni beribadah dengan benar dan tepat. Birokrasi Ilahiyyah ingin melepaskan makhluk dari jerat duniawi yang menipu, dan menjadikan perangkat duniawi pada dirinya sebagai jembatan untuk beramal dan mendekatkan diri kepada-Nya melalui jalur yang resmi.
Birokrasi Ilahiyyah mengajarkan umat untuk menerapkan aturan dan perilaku Shidiq, yakni mengawali dengan cara yang Shidiq (benar an tepat), dan mengakhiri segala sesuatu dengan cara yang Shidiq pula. Hal ini sejalan dengan do’a yang selalu disenandungkan dalam Birokrasi Ilahiyyah,

Dan katakanlah: "Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku dengan cara masuk yang benar dan keluarkanlah aku dengan cara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuatan yang menolong” . (Q.S. Al-Isra: 80)

Tidak ada paksaan dalam agama ; (Q.S. Al-Baqarah: 256).
Tidak ada paksaan untuk memasuki Birokrasi Ilahiyyah. Suka rela dan lahirnya sebuah kesadaran adalah sikap dasar seseorang berada dalam naungan Birokrasi Ilahiyyah. Oleh karenanya ajaran Birokrasi Ilahiyyah mengembangkan selalu nilai Rahmatan lil ’alamin, yang menghindari intimidasi atau pemaksaan faham kepada orang atau kelompok tertentu. Bahkan kebijakannya melindungi umat yang berkeyakinan berbeda, sepanjang tidak mengganggu perjalanan Dienul Islam di tengah umat.

Kekhilafahan dalam Birokrasi Ilahiyyah saat ini merupakan kategori kepemimpinan Shiddiqin, yakni peringkat kualitas ketaqwaan di bawah para Nabi. Namun demikian, bimbingan Kenabian pada Birokrasi Ilahiyyah masih berlanjut, karena Mandataris Ialhiyyah merupakan pewaris ajaran para Nabi.
Meski figur yang bermartabat Kenabian sudah berlalu Nabi Muhammad Saw mengukuhkan adanya kepemimpinan setelah Beliau Saw wafat,
“Hendaklah engkau berpijak atas Sunnahku dan sunnah Khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk dan hidayah (setelahku), peganglah kuat-kuat atasnya dan gigitlah dengan gigi gerahammu (biar tidak lepas)”. (HR. Tirmidzi)

Kepemimpinan Birokrasi Ilahiyyah hanya dapat disentuh dan dicium aroma kebijakannya oleh hamba-hamba-Nya yang berjiwa bersih dan bersikap lurus atas jalan Dien-Nya. Bukti-bukti lurusnya ajaran Birokrasi Ilahiyyah tampak pada bukti-bukti lahiriyyah, meski nilai ajarannya masih asing dalam pandangan kebanyakan orang.
Isyarat keberadaan kepemimpinan Ilahiyyah ini dapat diperoleh melalui:
1. Nash Al-Quran dan Al-Hadits, yakni bagi mereka yang memahami seluk beluk pengetahuan Syar’iyyah.

2. Bimbingan Ruhaniyah, termasuk di dalamnya Ru’yatush-Shadiqah (mimpi yang benar). Isyarat ini diperoleh bagi mereka yang diberikan karunia ghaibiyah (alam ghaib). Orang-orang yang shaleh biasanya mudah tersentuh dengan isyarat ruhani yang shahih, sehingga mereka dapat menentukan figur Petugas Allah yang turun pada setiap zaman.
3. Adanya tajdid, sebagai kebijakan terkini yang dapat menjadi pedoman umat membedah berbagai menjawab hal-hal yang mustahdatsat (persoalan-persoalan baru) duniawi dan ukhrawi). Makna tajdid di sini bukanlah mengganti atau mengubah agama, akan tetapi adalah mengembalikan Dienul Islam kepada khithah atau memurnikan ajarannya dari pengaruh-pengaruh batil.

Kepemimpinan Ilahiyyah (Mandataris) tidak memiliki kriteria syarat-syarat yang ditentukan berdasarkan ijtihad para Ulama atau kaum muslimin. Mengapa demikian? Karena Kepemimpinan Birokrasi Ilahiyyah bukanlah kepemimpinan Dinasti (keluarga), dan juga bukan kepemimpinan yang dibangun lewat jalur demokrasi (suara terbanyak), yang bisa diestafetkan secara turun temurun kepada garis keturunan. Mandataris Ilahiyyah adalah benar-benar dipilih oleh Allah ‘Azza wa Jalla melalui mekanisme ruhani, yang sering terjadi tanpa adanya saksi lahir.
Perjuangan Birokrasi Ilahiyyah dapat melahirkan kemakmuran bagi suatu negeri manakala penduduknya mengimani keberadaannya. Karena figur Birokrasi Ilahiyyah merupakan kepanjangan tangan Allah, Pemilik Kerajaan langit dan bumi.

Kekokohan jalinan Birokrasi Ilahiyyah ini tidak terukur oleh parameter keilmuan lahiri. Sebab nilai Kerajaan Allah tak bisa tergapai oleh perangkat inderawi.
Di tengah persimpangan umat mencari pemimpin yang menyelamatkan, dan di saat rakyat Indonesia ditawari dan diiming-iming oleh pemimpin semu duniawi, kami mengusung nama Syekh al-Akbar hadir memperkenalkan dimensi kepemimpinan lain, yang lebih luas dimensi dan jangkauannya.

Keberadaan nilai-nilai Ilahiyyah akan membawa umat dan rakyat kepada keselamatan. Rahmat Birokrasi Ilahiyyah menghendaki seluruh manusia melakukan pendekatan fitrah terhadap seluruh aspek kehidupan termasuk pendekatan pemahaman keagamaan. Sebab fitrah manusia diciptakan sama, dan Al-Islam diciptakan selaras dengan fitrah manusia.
Urgensi Pentingnya Pemimpin Umat
Perjalanan manusia dalam kehidupan di dunia ini telah dilengkapi dengan fasilitas ‘buku petunjuk’ dari Allah SWT. Buku petunjuk itu merupakan suatu pedoman atau konsep besar (makro) untuk meraih keselamatan dan kebahagiaan. Konsep besar ini diturunkan melalui kepemimpinan yang telah dirancang-Nya.

Kalau kita amati, Dienul Islam tidak dibawa hanya oleh Nabi Muhammad Saw saja, tapi telah diusung sejak Nabi Adam As hingga disempurnakan pada masa Nabi Muhammad Saw. Bahkan berkembangnya Islam hingga saat ini menjadi bukti nyata keberadaan para pewarisnya.

Abhizaloe Rizal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar