Minggu, 09 Agustus 2009

Kisahnya Hanzolah Bin Al Khalib


Inilah cerita Hanzhalah bin al-Kalib, salah seorang penulis Nabi Muhammad Saw; Kami sedang berada bersama Nabi Saw. Ia mengingatkan kami kepada surga dan neraka. (Begitu jelasnya) sehingga seakan – akan aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Tetapi ketika aku kembali ke keluargaku dan anak – anakku, aku tertawa dan bergembira. Segera aku ingat apa yang terjadi tadi bersama Nabi Saw. Aku keluar dan berjumpa dengan Abu Bakar. “Aku munafiq”, kataku. Abu Bakar bertanya: “Mengapa begitu?.” “Aku berada bersama Nabi Saw. Ia mengingatkan kami kepada surga dan neraka, seakan – akan aku melihatnya.

Ketika aku meninggalkan Nabi Saw, bercengkrama dengan istri, anak, dan urusan dunia lainnya lupalah aku pada apa yang disampaikan Nabi Saw.” Abu Bakar berkata:”Kami pun seperti itu.” Aku mendatangi Nabi Saw dan menyebutkan apa yang kualami kepadanya. Rasulullah Saw bersabda, “Wahai Hanzhalah, seandainya kalian di tengah keluargamu sama seperti kalian berada bersamaku, malaikat akan bersalaman dengan kamu di tempat tidur mu dan di jalanan. Wahai Hanzhalah, sewaktu – waktu saja sa’atan sa’atan (Kanz al-‘Ummal, hadits 1697)

Riwayat ini bersama riwayat – riwayat lain yang sejenis ditulis dalam bab Hasil Zuhud (Tsamarat al-Zuhd), kitab Mizan al-Hikmah 4:261. Bila kita merasakan kehidupan akhirat dan tidak terpukau dengan kehidupan dunia, seperti yang dirasakan oleh sahabat-sahabat Nabi Saw dihadapannya, para malaikat akan turun menyertai kita. Tirai kegaiban akan disingkapkan. Mereka akan menyalami kita, seraya berkata, “Kami akan melindungi kalian di dunia dan akhirat.” (Lihat al-Quran 41:31). Alangkah indahnya pengalaman itu! Kita percaya kepada para malaikat (rukun iman kedua), tetapi tidak pernah menyaksikannya, tidak merasakan kehadirannya, apalagi memperoleh bantuannya. Malaikat itu makhluk gaib. Ada tetapi tidak terasa. Keterikatan kita dengan materi telah menyebabkan kitaterlepas dari pengalaman gaib. Lingkungan kita terbatas pada apa yang dapat kita ukur, yang dekat dengan kita.

Salah satu buah dari zuhud ialah memperluas lingkungan kita. Zuhud membawa kita melintas alam syahadah dan memasuki alam gaib. Zuhud menambah sahabat – sahabat kita, jauh lebih banyak dari onggokan materi di sekitar kita. Dengan menggunakan istilah para sufi, zuhud mengantarkan kita pada alam mukasyafah.
Tetapi zuhud juga menghasilkan buah yang lain. Kepada Abu Dzar, Ali bin Abi Thalib kw berkata, “Barangsiapa yang zuhud dalam dunia, tidak sedih karena kehinaannya (dunia) dan tidak ambisius untuk memperoleh kemuliaannya, Allah akan memberinya petunjuk tanpa melewati petunjuk makhluk-Nya. Dia akan mengajarinya ilmu tanpa ia mempelajarinya. Allah mengokohkan hikmah dalam hatinya dan mengeluarkan hikmah itu melalui lidahnya.” (al-Bihar 78:63). Ali dalam riwayat ini menyebutkan ilmu yang diberikan Allah langsung, tanpa perantara makhluk-Nya. Para sufi menyebutnya ilmu laduni.

Dalam epistemology Islam Anda dapat memperoleh ilmu lewat pengamatan empiris (seperti sains), atau lewat permenungan rasional (seperti filsafat), atau melalui ajaran guru – guru Anda. Semua ilmu itu Anda peroleh tentu saja pada hakikatnya dari Allah melalui makhluk-Nya. Tetapi Anda juga dapat memperoleh ilmu langsung dari Dia Yang Mahatahu. Dia mengilhamkannya langsung ke dalam hati Anda. Ilmu itulah yang membuat seorang ibu gelisah dan merasakan anaknya dalam situasi yang berbahaya, tanpa seorang pun memberitahunya. Ilmu itu juga yang dapat menjelaskan mengapa orang – orang suci bisa tahu sebelum diberi tahu (weruh sedurung winarah). Diantara orang – orang yang dianugerahi ilmu laduni adalah mereka yang zuhud.

“Bila kalian zuhud”, kata Ali bin Abi Thalib kw dalam riwayat lainnya (Ghurar alHikam), “Kalian akan dibebaskan dari penderitaan dunia dan memperoleh kebahagiaan di kampung yang kekal (akhirat).” Apakah Anda menderita hari ini? Apakah hidup anda terasa sesak, pedih, dan kelabu. Apakah Anda gelisah, risau karena memikirkan banyak masalah ( baik yang real maupun yang khayal, (real or imagined). Anda akan dibebaskan dari semuanya melalui zuhud. Tetapi apakah zuhud itu sebenarnya?
Zuhud: Pola Hidup Menjadi.

Muhammadi al-Reyysyahri mengumpulkan banyak hadits yang menjelaskan kata zuhud (Mizan al-Hikmah 4:250-255). Ibn al-Qayyimn al-Jawziy mendaftar sejumlah definisi tentang zuhud dari para ulama (Lihat Madarij al-Salikin 2:9-13). Tidak mungkin kita memperinci semua definisi itu. Marilah kita memperhatikan beberapa saja diantaranya.
Ali bin Abi Thalib kw menjelaskan. Zuhud tersimpul dalam dua kalimat dalam al-Quran,”Supaya kamu tidak bersedih karena apa yang lepas dari tanganmu dan tidak bangga dengan apa yang diberikan padamu.” (al-Quran 57:23). Siapa yang tidak bersedih karena apa yang luput daripadanya. Dan tidak bersukaria karena apa yang dimilikinya. Ia adalah orang zuhud. Dari tafsir ayat yang dikemukakan sahabat yang disebut Nabi Saw sebagai pintu kota ilmu ini. Kita dapat melihat dua karakteristik orang yang zuhud (zahid).

Pertama, zahid tidak menggantungkan kebahagiaan hidupnya pada apa yang dimilikinya. Para psikolog eksistensialis bercerita tentang dua pola hidup; pola memiliki dan pola menjadi. Bila Anda bahagia karena Anda memiliki mobil bagus, rumah mewah, kedudukan basah, status social tinggi; dan Anda menderita karena kehilangan itu (sebagian atau apalagi seluruhnya). Anda memilih pola memiliki. Anda tidak berbeda dengan anak kecil yang membeli petasan. Ia menyuruh kawannya untuk membakar petasan itu. Ia menutup telinganya ketika petasan itu meledak. Tetapi ia senang, karena petasan itu miliknya, kepunyaannya.

Kawan saya mempunyai rumah besar di sebuah pebukitan yang indah. Ia sendiri tinggal di Jakarta. Ia hanya mengunjungi rumah itu hampir sekali setahun. Ia jarang menggunakannya. Yang mendiami rumah itu, yang mandi di kolam renangnya setiap hari, yang mempergunakan semua fasilitas didalamnya adalah pembantunya (yang dibayarnya untuk menikmati semua kesenangan itu). Tetapi kawan saya tetap berbahagia, karena dia bisa berkata, “Rumah megah itu kepunyaanku”. Baginya yang menjadi persoalan bukan penggunaan tetapi pemilikan.
Ada sepasang suami istri yang hidup sederhana.

Ketika keduanya meninggal, barulah keluarganya tahu bahwa mereka memiliki deposito di bank dalam jumlah ratusan juta. Mereka tidak pernah menggunakan uang itu. Juga bunganya kecuali untuk keperluan yang mendesak. Mereka sesungguhnya dapat melancong ke luar negeri, menghabiskan masa tuanya untuk menikmati kehidupan. Atau mereka dapat memberikan hartanya untuk membantu orang – orang yang menderita. Memberikan beasiswa bagi anak – anak cerdas yang tidak mampu, atau melakukan amal – amal sosial lainnya, sehingga hidup mereka bermakna. Mereka tidak melakukan itu. Mereka menyimpan uang berikut bunganya di bank. Kenikmatan mereka bukan pada penggunaan tetapi pada pemilikan. Inilah pola memiliki. Inilah lawan zuhud.

Zuhud adalah pola hidup menjadi. Zahid tidak memperoleh kebahagiaan dan pemilikan. Alangkah rendahnya kehidupan bila kebahagiaan bergantung pada benda – benda mati. Alangkah rentannya kita pada berbagai persoalan, bila hati kita diletakkan pada benda – benda yang kita miliki. Anda marah ketika mobil anda tergores tukang becak. Anda sakit hati ketika deposito Anda tidak dapat Anda tarik. Anda bermuram durja ketika keluarga Anda menjauhi Anda. Anda berpendirian kalau sesuatu atau seseorang tidak Anda miliki. Anda menderita kemalangan. Kebahagiaan Anda sangat ditentukan oleh apa – apa yang di luar Anda. Bukan oleh Anda sendiri. Diri Anda sekarang menjadi robot yang sepenuhnya ditentukan oleh lingkungan Anda. Seorang zahid tidaklah membuang semua yang dimilikinya, tetapi ia menggunakan semuanya itu untuk mengembangkan dirinya. Kebahagiaannya tidak terletak pada benda – benda mati, tetapi pada peningkatan kualitas hidupnya (psikologis dan spiritual). Ia bahagia karena berhasil menjadi apa yang ia dapat menjadi. He is happy because he becomes what he is capable of becoming.

Kedua, kebahagiaan seorang zahid tidak lagi terletak pada hal – hal yang material, tetapi pada dataran spiritual. Bila Anda mempelajari psikologi perkembangan, Anda akan melihat bahwa manusia menyenangi hal – hal yang berbeda sesuai dengan pertumbuhan kepribadiannya. Sigmund Freud bercerita tentang tiga fase dalam pertumbuhan anak. Pada fase pertama, anak memperoleh kesenangan melalui mulutnya (fase oral). Ia memperoleh kesenangan ketika menghisap susu Ibunya; juga ketika memasukkan benda – benda ke dalam mulutnya. Pada fase kedua, ia memperoleh kesenangan ketika mengisap susu ibunya; juga ketika memasukkan benda – benda ke dalam mulutnya.

Pada fase kedua, ia memperoleh kesenangan ketika mengeluarkan apa saja dari anusnya (fase anal). Anak dapat berlama – lama di kamar mandi, karena di situ dia memperoleh kenikmatan. Pada fase ketiga, ia memperoleh kenikmatan dari permainan dengan alat kelaminnya (fase genital).
Anda boleh setuju atau tidak dengan teori Freud. Tetapi ia menunjukkan adanya perkembangan dalam tingkat kesenangan manusia. Makin tinggi tingkat perkembangan kepribadian, makin nonfisikal sifat kesenangannya. Anda makin dewasa bila Anda memperoleh kebahagiaan dari hal – halspiritual seperti memperoleh ilmu, beramal untuk hari akhirat, mendekati Yang Mahapengasih. Orang zahid menemukan kebahagiaan pada hal – hal yang ruhaniah, pada tingkat kepribadian yang tinggi. Sekarang dimanakah anda berada? Lihat saja dimana terletak kebahagiaan Anda.

Zuhud: Di Dunia tetapi Tidak Mendunia.
Dimanakah letak kebahagiaan Anda? Will Durant, penulis puluhan jilid The Story of Civilization, mencoba menjawab pertanyaan ini dengan mengunjungi perpustakaan – perpustakaan dunia. Dengan tekun ia menelaah tulisan para filusuf dan orang – orang bijak. Bertahun – tahun ia tidak menemukan dimana kebahagiaan itu, sampai ia menyaksikan peristiwa yang sangat menggetarkan hatinya. Waktu itu ia baru saja kembali dari perjalanan jauh. Ia keluar dari bandara bersama banyak orang lain. Di seberang jalan ia melihat seorang perempuan dengan bayi kecil dalam dekapannya melambaikan tangan.

Seorang laki – laki berteriak, menyeruak di tengah orang banyak, dan melesat menyebrangi jalan. Ia sama sekali tidak menghiraukan lalu lintas yang padat. Ia tidak mendengar bunyi klakson mobil yang memperingatkannya. Ia lari menuju perempuan itu. Mula – mula ia mengecup istrinya. Kemudian memeluk dan menciumi bayi merah itu. Pada wajah sepasang suami istri itu, Will Durant melihat ekspresi indah yang tidak terlukiskan. “Sekarang aku menemukan di mana letak kebahagiaan itu!”, kata Durant dengan kepuasan Archimides ketika meneriakkan “Eureka!” (Aku sudah menemukannya).

Bagi Durant, kebahagiaan terletak pada pertemuan di antara orang – orang yang saling mencinta. Bagi Haram. Salah seorang qari (pembaca Al-Quran) Rasulullah Saw, kebahagiaan tidak terletak disitu. Pada suatu hari Abu Bara’, pemimpin sebuah kabilah di Nejed, datang ke Madinah. Nabi saw mengajaknya masuk islam. Dengan halus ia menolak tawaran Nabi, tetapi memohon agar Nabi saw mengirimkan para qarinya untuk mengajari mereka Al-Quran.
Tujuh puluh orang sahabat pilihan dikirim ke Nejed. Di Bir Ma’unah para sahabat berhenti. Haram mulai berdakwah. Ia menyampaikan ayat – ayat Al-Quran dengan begitu bersemangat sehingga ia tidak menyadari bahwa orang – orang Nejed telah mengepungnya. Tiba – tiba tubuhnya tersentak. Ia melihat ujung tombak keluar dari rongga dadanya. Darah membersit. Haram menyauk darah itu dengan kedua telapak tangannya dan mengusapkannya ke wajahnya seraya berkata, “Fuztu wa Rabbil Ka’bah” (Alangkah bahagianya aku, demi Tuhan yang Memelihara Ka’bah).

Bagi Haram. Kebahagiaan terletak dalam kematian karena menegakkan keyakinan. Puluhan tahun kemudian. Husain cucu Rasulullah Saww, bersimbah darah di padang Karbala. Sebelum maut menjemputnya, ia berkata, Inni la aral maut illas sa’adah” (Aku tidak melihat kematian kecuali sebagai kebahagiaan). Bila Durant menganggap kebahagiaan terletak pada pertemuan dengan keluarga setelah perjalanan jauh, Husain dan Haram menemukan kebahagiaan dalam berpisah dengan dunia untuk berjumpa dengan Allah Swt.

Walaupun kasih saying pada keluarga mempunyai nilai yang lebih tinggi dari kecintaan pada benda – benda, kebahagiaan Durant masih terletak pada dataran rendah dunia. Pada Imam Husain dan Haram. Kebahagiaan sudah tidak lagi terikat pada dunia. Kebahagiaan kini berada pada dataran tinggi ruhani. Pandangan Anda tentang kebahagiaan mencerminkan tingkat keruhanian Anda.

Orang Perancis berkata, “Diz moi est-ce que tu manges, et je te dirai est-ce que tu es” (katakan kepadaku apa yang kamu makan, aku akan mengatakan kepada Anda siapa Anda). Di sini kita ingin mengatakan, “Katakan kepadaku dimana Anda letakkan kebahagiaan, aku akan mengatakan kepada Anda siapa Anda.” Bila Anda meletakkan kebahagiaan bukan pada dunia, Anda adalah orang yang zuhud.

Zuhud bukan meninggalkan dunia. Tetapi tidak meletakkan hati padanya. Zuhud bukan menghindari kenikmatan duniawi, tetapi tidak meletakkan nilai yang tinggi padanya. Dan inilah definisi zuhud dari Rasulullah Saww. “Bukanlah zuhud itu mengharamkan yang halal. Bukan pula menyia – nyiakan harta, tetapi zuhud dalam dunia itu ialah engkau tidak memandang apa yang ada di tanganmu itu lebih diandalkan dari apa yang ada di sisi Allah” (Kanz al-‘Ummal, hadis 6059)

Apa yang ada di tanganmu? Rumah, kendaraan, kebun, atau deposito, istri, anak – anak, anak buah, kawan, atau fans; karier, pangkat, kedudukan, atau status. Atau mungkin yang lebih abstrak: kekayaan, kekuasaan, kemasyuran. Konon, pada zaman modern ini orang menjadi kaya karena menguasai sumber daya keuangan (financial resources), atau sumber daya kekuasaan (political resources) atau sumber daya alam (natural resources) atau semuanya (seperti yang dipegang oleh kebanyakan para pemimpin Negara Dunia Ketiga). Perhatikan keadaan yang ada di tanganmu itu: semuanya berubah, tidak tetap, dan akhirnya harus Anda tinggalkan, sukarela atau terpaksa. Semuanya tidak bisa diandalkan.

Lalu apa yang ada di sisi Allah? Rahmat-Nya yang meliputi segala sesuatu, ampunan-Nya yang maha luas, anugerah-Nya yang tidak terbatas, dan ridho-Nya yang akbar. “Apa yang ada padamu akan punah, apa yang disisi Allah abadi” (AlQuran 16:96). Apa yang ada pada tangan kita tidak dapat kita andalkan. Marilah kita letakkan kepercayaan kepada Allah saja. In God We Trust (Kalimat ini ditulis dalam setiap lembaran dollar Amerika. Bukan saja ini menyampaikan makna zuhud, tetapi juga mengingatkan semua pengejar dollar bahwa uang sama sekali tidak dapat diandalkan. Percayakan diri Anda kepada Tuhan saja. Sayangnya, kalimat ini ditulis kecil dan kontras sekali dengan tulisan yang menunjukkan bilangan harga uang itu. Tentu saja orang lebih memperhatikan harga uang daripada kalimat yang berharga itu.

Wajar sekali bila kita mencintai uang yang kita miliki. Wajar sekali bila kita terikat dengan benda – benda kepunyaan kita. Sejak kecil kita dibiasakan untuk menikmati apa- apa yang secara konkret berada di sekitar kita. Kita menjadi zahid apabila kita bersedia menukarkan semuanya itu untuk apa yang ada di sisi Allah. Suatu hari Nabi Saww memperoleh sandal yang sangat indah. Ia menyukainya. Tetapi segera ia bersujud. Ia memohon ampunan kepada Allah. Ia kuatir sandal yang bagus itu membuatnya lupa kepada apa yang ada di sisi Allah.

Ia keluar dan memberikan sandal itu kepada seorang miskin yang pertamakali ditemuinya di jalan.
Jadi orang zahid adalah orang yang membuang dunia untuk ditukar dengan apa yang ada pada Allah. Zahid ialah orang yang menolak dunia. Tetapi apa yang disebut dunia? Mawlana Majlisi, ahli hadits dan ulama besar dari kalangan Ahli Bait, menulis, “Hendaknya Anda ketahui bahwa berdasarkan ayat – ayat Al-Quran dan hadits menurut pemahaman kami terhadapnya, “dunia yang terkutuk” itu ialah semua hal yang menghalangi manusia dari mematuhi Allah dan menjauhkannya dari kasih-Nya dan hari akhirat. Karena itu, “dunia” dan “akhirat” merupakan antithesa. Apa saja yang menyebabkan manusia memperoleh ridho Allah dan mendekatkannya kepada Dia termasuk “Akhirat”, walaupun hal – hal tersebut tampak seperti urusan dunia seperti perdagangan, pertanian, industry, kerajinan yang ditujukan untuk memberikan nafkah kepada keluarga karena mematuhi Allah Swt, untuk sedekah atau kesejahteraan orang – orang miskin dan melarat, dan menghindarkan dari ketergantungan kepada bantuan orang lain.

Semua kegiatan ini dimaksudkan untuk akhirat, walaupun orang – orang menganggapnya untuk dunia. Sebaliknya, latihan – latihan disiplin keruhanian yang bertentangan dengan Sunnah, walaupun dilakukan dengan penuh kekhusyuan dan pengabdian, dihitung untuk dunia, karena menyebabkan pelakunya terasing dari Allah dan tidak membawa manusia lebih dekat kepada-Nya.
Ulama yang lain berkata, “Dunia dan akhirat adalah dua keadaan batiniah hati Anda: Yang lebih mendekatkan dan berkaitan dengan kehidupan sebelum mati adalah ‘dunia’. Apa – apa yang berkaitan dengan kehidupan sesudah mati adalah ‘akhirat’. Jadi, apa saja yang memberikan kesenangan, kenikmatan dan pemenuhan kepuasan sebelum mati adalah ‘dunia’ bagimu”.

Walhasil, orang zahid adalah orang yang hidup di dunia, tetapi tidak meletakkan hatinya di dunia. Mereka bekerja di dunia untuk akhirat. Ali bin Abi Thalib kw berkata, “Orang – orang zahid adalah mereka yang berada di dunia tetapi tidak mendunia. ‘Kanu qawman min ahlid dunya wa laisu min ahliha” (Nahjul Balaghah).


“Bundel al-Tanwir” oleh KH. Jalaluddin Rakhmat. Yayasan Muthahhari.

Alfan Arrasuli

Tidak ada komentar:

Posting Komentar