Rabu, 12 Agustus 2009

Penyimpangan Akhidah 3


Menyelewengkan Makna Syahadat, Wujud Penyimpangan Akidah 3

Keenam: Memelihara darah, harta, dan kehormatannya.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِ اْلإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah, mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka telah melakukannya maka mereka telah memelihara dariku darah-darah mereka, harta-harta mereka, kecuali dengan hak Islam dan hisab mereka ada di tangan Allah.”2
(lihat Bayanus Syirk wa Wasa`ilihi ‘inda ‘Ulama` Asy-Syafi’iyyah, hal. 6-10 karya Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al-Khumayyis, Laa Ilaha illallah Ma’naha Wa Makanatuha, karya Asy-Syaikh Shalih Fauzan hal. 36-41)

Pemaknaan yang Keliru dari Kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ sebagai Kalimat Ikhlas
Dalam pembahasan edisi yang telah lalu, dijelaskan apa sesungguhnya makna kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ yang benar. Sebuah kalimat tauhid, kalimat ikhlas, kalimat takwa, kalimat Islam, dan kalimat ‘urwatul wutsqa. Tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah Subhanahu wa Ta'ala, itulah makna yang benar. Sebuah makna yang singkat namun padat dan memiliki konsekuensi yang demikian banyak. Makna inilah yang juga dipahami oleh kaum musyrikin dahulu sehingga mendorong mereka untuk menolak seruan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan memerangi dakwah beliau. Mereka memahami bahwa bila mereka mengikrarkan dan mengucapkan kalimat ini berarti:
a. Harus melepaskan segala keterkaitan dengan sesembahan yang mereka jadikan sebagai tuhan-tuhan selain Allah, berupa segala bentuk berhala, patung-patung, atau tempat yang dikeramatkan.

b. Harus meninggalkan segala perbudakan hawa nafsu yang menjadikan mereka gandrung dan kecanduan untuk bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala seperti merampok, berzina, membunuh, berjudi, minum khamr, berbuat dzalim, dan lain sebagainya.
Inilah realita orang-orang yang telah disebutkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah: “Orang-orang kafir di masa jahiliyah mengetahui apa yang dimaksud oleh Rasulullah dengan (seruan beliau) kepada kalimat Laa Ilaha illallah, yaitu mengesakan Allah dalam ketergantungan, dan mengingkari segala sesembahan selain Allah serta berlepas diri darinya. Di saat Rasulullah mengatakan kepada mereka: ‘Ucapkanlah Laa Ilaha illallah!’, mereka berkata: ‘Apakah dia akan menjadikan tuhan-tuhan ini menjadi satu tuhan? Ini adalah (perbuatan) yang sangat mengherankan.’ Jika engkau mengetahui bahwa orang kafir jahiliyah saja mengetahui makna (yang benar tentang kalimat Laa Ilaha illallah), maka amat naif dan sangat mengherankan jika orang-orang yang mengaku Islam namun tidak mengetahui makna kalimat Laa Ilaha illallah sebagaimana yang diketahui oleh orang-orang kafir jahiliyah. Bahkan mereka justru mengira bahwa cukup hanya mengucapkannya dengan lisan, tanpa hatinya meyakini makna-makna yang dikandungnya. Bahkan kalangan ahli pikir di antara mereka meyakini bahwa makna Laa ilaha illallah adalah tidak ada yang menciptakan, memberi rizki, kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala dan tidak ada yang mengatur urusan kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala (yakni membatasi hanya pada makna itu). Sungguh tidak ada kebaikan bagi seseorang (di dalam Islam) jika orang kafir jahiliyah lebih mengetahui makna kalimat Laa Ilaha illallah.” (Kasyfus Syubuhat, hal. 17-18)

Di antara pemaknaan batil dari kalimat ini sebagai berikut:
Pertama: Tidak ada yang menciptakan, memberi rizki, menghidupkan, mematikan dan mengatur kecuali Allah.
Pemaknaan seperti ini adalah batil, karena penafsiran ini hanya terbatas pada tauhid rububiyyah. Makna seperti ini telah diakui dan diyakini oleh kaum musyrikin jahiliyah, akan tetapi tidak menyebabkan mereka masuk ke dalam Islam dan tidak menjadikan harta dan darah mereka terjaga.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah berkata: “Kaum musyrikin menetapkan dan mempersaksikan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah Dzat pencipta, pemberi rizki. Dan mereka meyakini bahwa tidak ada yang memberi rizki, menghidupkan dan mematikan melainkan Dia, serta tidak ada yang mengatur kecuali Dia. Dan seluruh langit yang tujuh dan apa yang ada di dalamnya dan bumi yang tujuh seisinya adalah hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala dan di bawah kekuasaan dan pengaturan-Nya. Jika engkau ingin mengetahui dalil bahwa orang-orang yang diperangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mempersaksikan hal itu, adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَاْلأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ اْلأَمْرَ فَسَيَقُوْلُوْنَ اللهُ فَقُلْ أَفَلاَ تَتَّقُوْنَ

“Katakan siapakah yang memberikan rizki kepada kalian dari langit dan bumi? Siapakah yang menguasai pendengaran, penglihatan dan yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan dan yang mati dari yang hidup? Dan siapakah yang mengatur semua urusan? Maka mereka akan berkata: ‘Allah.’ Maka katakanlah: ‘Mengapa kalian tidak takut (kepada-Nya)?’.” (Yunus: 31)

قُلْ لِمَنِ اْلأَرْضُ وَمَنْ فِيْهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ سَيَقُوْلُوْنَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلاَ تَذَكَّرُوْنَ. قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ سَيَقُوْلُوْنَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلاَ تَتَّقُوْنَ. قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوْتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيْرُ وَلاَ يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ سَيَقُوْلُوْنَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُوْنَ

“Katakan: Milik siapakah bumi dan segala apa yang ada padanya jika kalian mengetahui? Mereka akan mengatakan Allah, maka katakanlah tidakkah kamu mau sadar. Katakan siapakah Rabbnya langit yang tujuh, Rabb ‘Arsy yang agung? Mereka akan mengatakan milik Allah, maka katakanlah tidaklah kalian mau bertakwa. Katakan, di tangan siapakah kekuasaan terhadap segala sesuatu dan dia tempat berlindung dan tidak akan dilindungi jika kalian mengetahui, mereka akan mengatakan: “Milik Allah, lalu kenapa kalian bisa dipalingkan.’” (Al-Mu’minun: 84-89)
[Lihat Kasyfus Syubuhat hal. 10-11]
Memaknakan Laa Ilahaillallah hanya ke dalam makna tauhid rububiyyah (tidak ada yang menciptakan, memberi rizki, menghidupkan, mematikan dan yang mengatur semua urusan kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala) semata adalah jelas kebatilannya. Jika demikian maknanya niscaya:

1. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan memerangi mereka, menghalalkan darah, kehormatan, dan harta mereka. Bagaimana mungkin beliau akan memerangi kaum yang benar aqidahnya, jika memang maknanya demikian.
2. Kaum musyrikin tidak akan menentang dan memerangi dakwah serta seruan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada kalimat Laa Ilaha illallah.
3. Tidak ada hikmah yang besar dalam hal diutusnya para nabi dan diturunkannya kitab-kitab samawi, karena tauhid rububiyyah ini ditetapkan oleh fitrah setiap manusia.
4. Usaha Iblis dan bala tentaranya tidak begitu berarti dalam penyesatan hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Ibnul Qayyim menjelaskan: “Apa yang ditunjukkan oleh kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah) dalam menetapkan hak peribadatan, lebih tinggi dibandingkan dengan kalimat اللهُ إِلَهٌ (Allah adalah sesembahan). Karena ucapan ini tidak mengandung makna penafian terhadap sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. Berbeda dengan ucapan لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. Kalimat ini menuntut pembatasan hak ibadah itu bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menafikan selain-Nya. Salah besar jika ada orang yang menafsirkan makna لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ dengan ‘Tidak ada yang mampu menciptakan kecuali Allah semata’.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar