Jumat, 07 Agustus 2009

Malu Kepada Allah



Al Haya'u Minal Iman
Ada suatu kisah yang menarik dari Tirmidzi. Tirmidzi merupakan salah seorang yang sangat rajin mengumpulkan hadis tentang keutamaan Sayidina Ali bin Abi Thalib kw ketika dia berada di Kufah. Ia pernah ditanya oleh sahabatnya.”Dari tadi anda meriwayatkan keutamaan Sayidina Ali tetapi tidak meriwayatkan keutamaan dari Abu Sufyan.” Tirmidzi menjawab, “Tidak apa – apa. Karena saya tidak menemukan satu hadis pun yang sahih yang meriwayatkan tentang keutamaan Mu’awiyah kecuali hanya satu.” Lalu sahabat itu meminta, “Ya riwayatkan yang satu itu.” Tirmidzi kemudian mengatakan, “Rasulullah pernah menyuruh Ibnu Abas untuk memanggil Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Pada panggilan pertama, Ibn Abas melaporkan bahwa Mu’awiyah sedang makan dan tidak bisa memenuhi panggilan Rasulullah. Pada panggilan yang kedua kalinya, Mu’awiyah juga sedang makan. Kemudian waktu itu Rasulullah mendoakannya – doa ini diriwayatkan oleh Bukhari – sebagai berikut : “Mudah – mudahan Allah tidak mengenyangkan perutnya.”

Dan hanya itu, kata Tirmidzi, tentang keutamaan Mu’awiyah. Doa Nabi itu pun diijabah. Ketika Mu’awiyah menjadi penguasa, dia hamper tidak bisa berhenti makan; sampai perutnya sudah besar dia masih terus ingin makan.
Pada waktu itu, marahlah orang – orang yang mendengar Tirmidzi menyatakan hal itu, dan akhirnya Tirmidzi dipukuli kemudian diangkut ke daerah Rayy dan meninggal di tengah perjalanan. Itulah kisah Tirmidzi.

Ada sebuah hadis yang terdapat dalam Sunan At-Tirmidzi, hadis no. 2.575, juz 4 hal. 54, yang diterima dari Abdullah ibn Mas’ud. Mari kita simak hadis tersebut,
Diriwayatkan dari Yahya bin Musa, dari Muhammad bin Ubaid, dari Aban bin Ishaq, dari Ash-Shabah bin Muhammad, dari Murrah Al-Hamadani, dari Abdullah bin Mas’ud mengatakan bahwa Rasulullah Saww bersabda: “Malulah kamu sekalian kepada Allah dengan sebenar – benarnya malu.” Lalu kami mengatakan, “Wahai Nabiyullah, Alhamdulillah kami telah malu.” Kemudian Nabi bersabda kembali; “Bukan itu, akan tetapi malu kepada Allah sebenar – benarnya malu adalah bila engkau menjaga kepala dan apa yang dikandungnya, engkau menjaga perut dengan segala isinya, engkau mengingat mati dan siksanya. Barangsiapa menginginkan akhirat hendaknya ia meninggalkan perhiasan dunia. Siapapun yang telah melakukan itu semuanya berarti ia telah memiliki rasa malu yang sebenarnya kepada Allah SWT.”

Dalam hadis tersebut, Rasulullah Saww bersabda, “Istayu minallah haqqal haya’i.” Istahyu berasal dari kata Istahya yang artinya, “Hendaknya engkau malu.” Dalam Al-Qur’an, misalnya, ada kalimat, “Inallah la yastahyi an yadhriba matsalan…” yang artinya, “Allah tidak malu membuat perumpamaan.” Ketika Allah bercerita tentang Fir’aun, Dia berfirman, “Yudzabbihuna abna’ahum wa yastahyuna nisa’ahum.”
Berkenaan dengan ayat itu, ada sebagian orang yang menerjemahkan, “Menyembelih anak laki – laki mereka dan menghidupkan anak perempuan mereka.”
Kata istaya disitu diterjemahkan dengan “menghidupkan” dan ada pula yang menerjemahkan “memalukan.”

Lalu apa hubungannya malu dalam kehidupan ini. Dalam kata – kata Arab selalu ada hubungannya antara satu kata dengan kata yang lain. Mengapa kata haya’ sama dengan kata hayat (hidup), karena hidupnya kemanusiaan itu bergantung kepada rasa malu. Kalau malu itu sudah hilang. Sebetulnya manusia itu telah kehilangan kemanusiaannya. Akhirnya, dia hidup sebagai binatang.
Jadi, kehidupan manusia ditandai dengan rasa malunya. Karena itu Rasulullah Saww bersabda, “Kalau engkau sudah tidak punya malu, berbuatlah sekehendak hati kamu.” Maksudnya, kalau orang sudah tidak punya rasa malu, dia akan melakukan apapun yang dia kehendaki. Dia akan berhenti sebagai manusia dan hidup sebagai binatang. Dan kalau sudah begitu, ia bukan hidup yang sebenarnya. Karena itu, kata haya’ dan hayat berasal dari satu akar kata yang mempunyai kaitan sangat erat. Bahkan dalam antropologi, juga sering disebutkan istilah “meningkatkan budaya malu.”

Dalam hadis selanjutnya dikatakan, “Hendaknya kamu malu kepada Allah dengan sebenar – benarnya malu.” Kemudian para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami betul – betul punya rasa malu kepada Allah.” Lalu Rasulullah Saww bersabda, “Bukan demikian yang aku maksud, tetapi malu kepada Allah dengan sebenar – benarnya malu ialah kau jaga kepalamu itu dan apa yang disimpan dikepalamu itu.”

Menyimpan dalam bahasa Arab disebut wa’a. Jadi kau jaga kepalamu itu dengan apa – apa yang disimpan didalamnya, apa yang diketahuinya, dan apa yang diinformasikannya. Kalau dalam bahasa Indonesia tempat menyimpan informasi itu bukan kepala tetapi hati. Akan tetapi orang Arab menyebut salah satu anggota badan yang digunakan untuk mengetahui itu adalah ra’su, kepala. Dan ini lebih dekat dengan pengetahuan modern.

Hadis selanjutnya menyebutkan, “Dan jaga perutmu serta apa yang disimpan di dalamnya, dan engkau ingat mati dan menghendaki akhirat dengan meninggalkan dunia, maka dengan demikian dapat dikatakan dia sudah mempunyai rasa malu kepada Allah dengan sebenarnya malu.”
Dalam hadis tersebut. Rasulullah mewasiatkan kepada sahabatnya untuk malu kepada Allah, yang bukan hanya sekedar malu tetapi ada tanda – tandanya.

Pertama, menjaga kepala dari pengetahuan atau informasi – informasi yang tidak layak. Karena informasi yang ada di kepala Anda itu akan menentukan sikap Anda. Pandangan Anda tentang dunia ditentukan oleh informasi yang Anda terima tentang dunia itu.
Oleh karena itu, Rasulullah mengatakan kepada kita agar menjaga informasi yang Anda terima itu dan jangan asal makan saja. Hadis itu menyuruh kita berpikir kritis dari pembicaraan dan sumber pembicaraan.
Kedua, kau jaga perut kamu dari apa yang dikandungnya. Ini menunjukkan bahwa perut itu melambangkan pola konsumtif. Janganlah Anda mengkonsumsi barang haram di perut Anda; walaupun konsumsi sekarang bukan hanya disimpan dalam perut tetapi disimpan dimana – mana. Oleh karena itu jagalah perut kamu dari apa yang dikandungnya.
Ini bukan berarti melarang kita untuk makan, tetapi yang dilarang adalah mengkonsumsi dengan cara yang haram.

Anda tahu hadis nabi yang mengatakan,”Bila sekepal makanan haram masuk dalam perut, maka selama empat puluh hari doa Anda tidak diterima.” Karena shalat itu adalah kumpulan doa, maka hal itu berarti empat puluh hari shalat kita tidak diterima.
Ketiga, ingatlah selalu akan kematian, dan tubuh kamu itu suatu saat akan hancur dimakan tanah. Karena itu ingatlah akan kematian itu.
Ketika Rasulullah melihat orang menggali kubur, beliau menangis lalu bersabda, “Kalau engkau mau mengumpulkan bekal, maka untuk inilah seharusnya kamu mengambil bekal.”
Maksudnya, kalau kamu mau mengambil bekal, maka untuk alam sesudah mati inilah Anda seharusnya menyiapkan bekal.

Pernah suatu saat ada orang bercerita kepada saya ketika ia berpiknik ke Bali. Banyak orang Bali yang menutup rumahnya dengan alang – alang. Hal ini bukan berarti bahwa mereka tidak mempunyai cukup uang untuk membuat atap yang bagus. Mereka sebenarnya memiliki simpanan uang yang banyak, yang dipersiapkan untuk upacara Ngaben – upacara pembakaran mayat.
Ternyata orang Bali itu hebat, menurut saya. Mereka mengumpulkan bekal untuk mati yang banyak walaupun hidupnya kelihatan menderita untuk beberapa saat. Kitapun seharusnya seperti itu. Kita kumpulkan bekal yang banyak untuk hari sesudah kematian. Depositokanlah uang Anda itu; ke mana? Ke lembaga – lembaga Islam yang ada.
Jadi, kalau Anda malu kepada Allah dengan sebenarnya malu, lakukanlah seperti apa yang dikatakan oleh Rasulullah Saww.

"Bundel al-Tanwir" Yayasan Muthahhari oleh KH. Jalaluddin Rakhmat.

alfan arrasuli

Tidak ada komentar:

Posting Komentar