Selasa, 18 Agustus 2009

Sudahkah Kita Shalat Subuh Tepat Pada Waktunya?

Apa Konsekwensi Shalat Sebelum Datang Waktunya?

(Salah Kaprah Waktu Subuh)

FAJAR KADZIB DAN FAJAR SHADIQ

إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا (١٠٣)

"Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." (QS. An-Nisa`: 103)


Mukaddimah

Dalam perjalan pemred bersama Syaikh Mamduh dari Malang ke Jember, Sabtu 21 Februari 2009, diantar oleh bapak Terang dan bapak Shalahuddin. Kami berangkat sebelum subuh, di Lawang terdengar suara adzan subuh. Waktu itu jam di mobil menunjukkan pukul 04.20-an. Saat kami ajak menepi untuk shalat, Syaikh Mamduh berkata, "Kita ini kan musafir, kalau masalahnya kita boleh memilih, maka aku suka shalat di depan sana saja, lagi pula waktu subuh belum masuk." Setelah masuk Pasuruan (pukul 04.45) kami baru singgah di sebuah masjid untuk shalat subuh (sementara para jama'ah sudah selesai wiridan dan mulai tadarus al-Qur`an). Setelah itu sepenjang perjalanan kita gunakan untuk mendiskusikan masalah waktu subuh. Akhirnya kami berkesimpulan bahwa hal ini penting untuk diangkat dan dimuat di majalah Qiblati secara berseri hingga tuntas.

Pembaca yang mulia, karena masalah ini penting sekaligus memiliki dampak dan konsekuensi serius maka kami sarankan: pertama, ikhlas dan bersabar dalam membacanya. Kedua, tidak mengambil kesimpulan sebelum tuntas membaca semua serialnya. Ketiga, kontak kami atau tulis makalah tanggapan jika ada yang harus kita diskusikan. Kami menyadari kalau ilmu bagaikan rizki yang disebar oleh Allah; ada yang mendapat sedikit dan ada pula yang mendapat banyak. Ada yang memiliki apa yang tidak dimiliki oleh yang lain, begitu seterusnya. Maka inilah ilmu yang diberikan kepada kami sebagai amanah. Kami sampaikan kepada pembaca. Jika benar, itu dari Allah datangnya, dan jika salah, maka dari hamba yang fakir. Kami menunggu orang yang diberi ilmu lebih untuk ikut memperkaya tulisan dalam masalah ini, demi tegaknya sunnah di bumi pertiwi ini. Wallahu al-Hadi ila sawa`is sabil.

Alhamdulillah Syaikh Mamduh telah mengirimkan serial makalahnya. Berikut ini adalah bagian pertama. Selamat membaca. (Red)

Keprihatinan

Hati ini menjadi sedih, ketika melihat negara-negara Islam semuanya tanpa kecuali, ternyata tidak melaksanakan shalat Subuh tepat pada waktunya. Mereka shalat sebelum masuk waktunya. Tentu saja sangat disayangkan. Dalam hal ini antara negara yang satu dengan yang lain berbeda dalam tingkat kesalahan seputar waktu Subuh. Berdasarkan pengamatan dan penelitian saya, saya menemukan bahwa azan Subuh dikumandangkan sebelum waktunya berkisar antara 9 hingga 28 menit. Dan sangat disayangkan lagi, Indonesia (secara umum) termasuk negara yang paling jauh dari waktu sebenarnya, yakni mengumandangkan adzan paling tidak 24 menit sebelum munculnya fajar shadiq.

Sesungguhnya jadual waktu shalat yang dipakai sekarang ini hampir di semua Negara Islam, diambil dari penanggalan Mesir yang dibuat oleh seorang insinyur Inggris pada saat penjajahan Inggris atas Mesir. Insinyur ini ingin membuat penanggalan untuk penentuan waktu di Mesir. Ia bersama beberapa guru besar dari Al-Azhar berkumpul di Padang Sahara Jizah, kemudian dari tempat itu, juga berdasarkan letak garis bujur dan garis lintang, berdasarkan perhitungan waktu Greenwich, dibuatlah penentuan waktu harian, diantaranya adalah waktu shalat.

Orang-orang Mesir sendiri waktu itu mengakui bahwa penentuan waktu tersebut menyelisihi waktu-waktu shalat yang dipakai pada masa Muhammad Ali Basya dan Negara Turki Utsmaniyah, yang mengandalkan bayangan (matahari) dan analoginya serta berdasarkan terbitnya fajar shadiq.

Penanggalan Mesir yang dibuat tersebut tidak dihitung berdasarkan penentuan waktu shalat yang benar, melainkan berdasarkan perhitungan garis lintang dan garis bujur yang sekarang ini diberlakukan secara luas (umum) pada setiap Negara. Sepengetahuan saya, tidak ada satu negara pun melainkan memakai perhitungan dengan cara ini. Termasuk yang paling mengherankan adalah negara-negara ini mengakhirkan (menunda) shalat dari setelah adzan lima menit untuk shalat maghrib hingga dua puluh lima menit untuk shalat-shalat yang lain. Itu dilakukan agar kesalahan penentuan waktu bisa sedikit dihindari. Tentu ini tertolak, karena masuknya waktu berdasarkan perintah syariat adalah adzan, bukan iqamah.

Masuknya waktu adalah syarat sahnya shalat

Sebelum kami sebutkan dalil-dalil yang mendukung kebenaran apa yang saya sampaikan -bahwa penanggalan sekarang salah- saya akan mulai dengan menyebutkan pentingnya waktu shalat, karena termasuk syarat terpenting bagi sahnya shalat adalah masuknya waktu. Ibn Abdilbarr mengatakan, "Shalat tidak sah sebelum waktunya, ini tidak diperselisihkan di antara ulama." Dari kitab al-Ijma' karya Ibn Abdilbarr -Rahimahullah-, hal. 45.

Para ulama fikh menyatakan bahwa siapa yang ragu tentang masuknya waktu shalat, maka ia tidak boleh melakukan shalat hingga ia benar-benar yakin bahwa waktunya telah masuk, atau besar dugaannya bahwa waktu telah masuk, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibn Qudamah -Rahimahullah- dalam kitab al-Mughni (2/30).

Yang kita lihat di sebagian besar negeri muslim adalah mereka shalat Subuh di waktu fajar kadzib (Zodiacal light), yakni pada waktu masih gelap di akhir malam.

Supaya tidak memperpanjang kalam, maka saya akan mulai masuk dalam pembahasan, dengan menjelaskan makna fajar menurut ahli bahasa dan ulama fikih.

Menurut Ibn Mandzur, al-Fajr adalah, "Cahaya Subuh, yaitu semburat merah di gelapnya malam karena sinar matahari. Ada dua fajar, yang pertama adalah meninggi (mustathil) seperti ekor serigala hitam (sirhan), dan yang kedua adalah yang melebar (memanjang, mustathir) disebut fajar shadiq, yaitu menyebar di ufuk, yang mengharamkan makan dan minum bagi orang yang berpuasa. Subuh tidak masuk kecuali pada fajar shadiq ini." Lisanul Arab (5/45), cet. Beirut.

Dalam kitab Mukhtarus Sihah (hal. 324, cet. Darul Basya`ir) disebutkan, "al-Fajr, di akhir malam seperti syafaq (semburat mega merah) di awal malam."

Dalam al-Qamus al-Muhith (hal. 584, Mu`assasah ar-Risalah), disebutkan, "Fajar adalah cahaya Subuh, yaitu semburan sinar matahari yang merah…"

Dengan demikian, kita mengetahui kata al-Fajr dalam bahasa Arab dimaksudkan awal terangnya siang hari, dan bahwa fajar itu ada dua, yang pertama fajar kadzib, dan fajar shadiq, dan bahwa yang berkaitan dengan hukum syariat seperti menahan diri dari makan dan minum bagi orang yang puasa, serta awal waktu shalat, serta shalat sunnah Subuh, yaitu fajar shadiq.

Fajar dalam al-Qur`an dan Sunnah.

:Allah -Subhanahu wata'ala-

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

"Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam." (QS. Al-Baqarah: 187)

Dari Salim bin abdillah dari ayahnya, bahwa Rasulullah -Shalallahu alaihi wasalam- bersabda: "Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan di waktu malam, makan dan minumlah hingga Ibn Ummi Maktum adzan." Kemudian berkata, “Ia adalah laki-laki buta, ia tidak adzan hingga dikatakan kepadanya: Sudah subuh, sudah subuh." (HR. al-Bukhari: 610)

Al-Hakim dan al-Baihaqi meriwayatkan hadits dari Ibn Abbas -Radiallahuanhuma-, bahwa Nabi -Shalallahu alaihi wasalam- bersabda,

« الفَجْرُ فَجْرَانِ: فَجْرٌ يَحْرُمُ فِـيهِ الطَّعَامُ وَتَـحِلُّ فـيه الصَّلاَةُ، وفَجْرٌ يَحِلُّ فـيه الطَّعَامُ وتَـحْرُمُ فـيه الصَّلاةُ »

"Fajar itu ada dua; fajar yang di dalamnya haram makanan serta dihalalkan shalat, kedua fajar yang di dalamnya halam makanan dan haram shalat -Subuh-." Dishahihkan al-Albani dalam Shahih Al-Jami' no. 4279.

Al-Hakim dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Jabir , Rasulullah -Shalallahu alaihi wasalam- bersabda, "Fajar ada dua, fajar yang seperti ekor serigala tidak boleh shalat dan tidak mengharamkan makanan. Adapun fajar yang menyebar di ufuk maka boleh shalat dan tidak boleh makan." Shahihul Jami' no. 4278.

Dalam sebuah riwayat disebutkan, "Fajar ada dua, fajar yang disebut seperti ekor serigala adalah fajar kadzib yang memanjang vertical dan tidak menyebar secara horizontal, yang kedua fajar yang melebar (horizontal) dan bukan vertical." Dishahihkan oleh Al-Albani dalam ash-Shahihah, no. 2002; Shahih al-Jami': 4278.

bersambung...

* Majalah Qiblati Edisi 8 Volume 4

Abu Hanif Abdillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar