Minggu, 30 Agustus 2009

masalah qunut subuh 1

Tanya tentang qunut pada sholat Subuh 1

Bismillah
Assalamu’alaykum wa rohmatullohhi wa barokatuh,
Semoga Alloh ‘Azza wa Jalla senantiasa menjaga dan menyayangi Ustadz Zulqarnain dan keluarga
Ana minta keridhoan ALLOH untuk mencintai anta karena-NYA
Afwan sebelumnya Ustadz,
ana minta pencerahan lagi tentang alfatihah makmum ini
ana pernah mendapat penjelasan tentang
- bacaan imam juga bacaan makmum
- hendaknya kita menyimak bacaan imam sehingga jika bacaan imam salah maka kita bisa mengingatkannya
- jika belum sempat membaca alfatiha tapi bisa mendapatkan rukuknya imam maka sudah dihitung dapat rakaat tersebut
Terkait dengan penjelasan dibawah ini, apakah ada penjelasan lebih terperinci
sehingga kita memilih salah satu pendapat ini?
Tolong bantuan antum yaa ustadz hafidahullohhu ta’ala..
Jazakallohhu khoiron wa baarokallohhu fiykum

Ahmad, Sumsel


Ini tulisan saya tentang qunut subah. Dimuat di Risalah Ilmiyah
An-Nashihah vol. 3

HUKUM QUNUT SHUBUH

Pertanyaan :
Salah satu masalah kontraversial di tengah masyarakat adalah qunut
Shubuh. Sebagian menganggapnya sebagai amalan sunnah, sebagian lain
menganggapnya pekerjaan bid’ah. Jelaskan hukum qunut Shubuh sebenarnya ?

Jawab :
Dalam masalah ibadah, menetapkan suatu amalan bahwa itu adalah
disyariatkan (wajib maupun sunnah) terbatas pada adanya dalil dari
Al-Qur’an maupun As-sunnah yang shohih menjelaskannya. Kalau tidak ada
dalil yang benar maka hal itu tergolong membuat perkara baru dalam
agama (bid’ah), yang terlarang dalam syariat Islam sebagaimana dalam
hadits Aisyah riwayat Bukhary-Muslim :

م&#161
“Siapa yang yang mengadakan hal baru dalam perkara kami ini (dalam
Agama-pent.) apa yang sebenarnya bukan dari perkara maka hal itu
adalah tertolak”. Dan dalam riwayat Muslim : “Siapa yang berbuat satu
amalan yang tidak di atas perkara kami maka ia (amalan) adalah tertolak”.

Dan ini hendaknya dijadikan sebagai kaidah pokok oleh setiap muslim
dalam menilai suatu perkara yang disandarkan kepada agama.
Setelah mengetahui hal ini, kami akan berusaha menguraikan
pendapat-pendapat para ulama dalam masalah ini.

Uraian Pendapat Para Ulama
Ada tiga pendapat dikalangan para ulama, tentang disyariatkan atau
tidaknya qunut Shubuh.
Pendapat pertama : Qunut shubuh disunnahkan secara terus-menerus, ini
adalah pendapat Malik, Ibnu Abi Laila, Al-Hasan bin Sholih dan Imam
Syafi’iy.
Pendapat kedua : Qunut shubuh tidak disyariatkan karena qunut itu
sudah mansukh (terhapus hukumnya). Ini pendapat Abu Hanifah, Sufyan
Ats-Tsaury dan lain-lainnya dari ulama Kufah.
Pendapat ketiga : Qunut pada sholat shubuh tidaklah disyariatkan
kecuali pada qunut nazilah maka boleh dilakukan pada sholat shubuh dan
pada sholat-sholat lainnya. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Al-Laits
bin Sa’d, Yahya bin Yahya Al-Laitsy dan ahli fiqh dari para ulama
ahlul hadits.

Dalil Pendapat Pertama
Dalil yang paling kuat yang dipakai oleh para ulama yang menganggap
qunut subuh itu sunnah adalah hadits berikut ini :

م&#16

“Terus-menerus Rasulullah shollallahu `alaihi wa alihi wa sallam qunut
pada sholat Shubuh sampai beliau meninggalkan dunia”.

Dikeluarkan oleh `Abdurrozzaq dalam Al Mushonnaf 3/110 no.4964, Ahmad
3/162, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’ani Al Atsar 1/244, Ibnu Syahin
dalam Nasikhul Hadits Wamansukhih no.220, Al-Hakim dalam kitab
Al-Arba’in sebagaimana dalam Nashbur Royah 2/132, Al-Baihaqy 2/201 dan
dalam Ash-Shugro 1/273, Al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah 3/123-124
no.639, Ad-Daruquthny dalam Sunannya 2/39, Al-Maqdasy dalam
Al-Mukhtaroh 6/129-130 no.2127, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.689-690
dan dalam Al-`Ilal Al-Mutanahiyah no.753 dan Al-Khatib Al-Baghdady
dalam Mudhih Auwan Al Jama’ wat Tafriq 2/255 dan dalam kitab Al-Qunut
sebagaimana dalam At-Tahqiq 1/463.
Semuanya dari jalan Abu Ja’far Ar-Rozy dari Ar-Robi’ bin Anas dari
Anas bin Malik.

Hadits ini dishohihkan oleh Muhammad bin `Ali Al-Balkhy dan Al-Hakim
sebagaimana dalam Khulashotul Badrul Munir 1/127 dan disetujui pula
oleh Imam Al-Baihaqy. Namun Imam Ibnu Turkumany dalam Al-Jauhar
An-Naqy berkata : “Bagaimana bisa sanadnya menjadi shohih sedang rowi
yang meriwayatkannya dari Ar-Robi’ bin Anas adalah Abu Ja’far `Isa bin
Mahan Ar-Rozy mutakallamun fihi (dikritik)”. Berkata Ibnu Hambal dan
An-Nasa`i : “Laysa bil qowy (bukan orang yang kuat)”. Berkata Abu
Zur’ah : “Yahimu katsiran (Banyak salahnya)”. Berkata Al-Fallas :
“Sayyi`ul hifzh (Jelek hafalannya)”. Dan berkata Ibnu Hibban : “Dia
bercerita dari rowi-rowi yang masyhur hal-hal yang mungkar”.”
Dan Ibnul Qoyyim dalam Zadul Ma’ad jilid I hal.276 setelah menukil
suatu keterangan dari gurunya Ibnu Taimiyah tentang salah satu bentuk
hadits mungkar yang diriwayatkan oleh Abu Ja’far Ar-Rozy, beliau
berkata : “Dan yang dimaksudkan bahwa Abu Ja’far Ar-Rozy adalah orang
yang memiliki hadits-hadits yang mungkar, sama sekali tidak dipakai
berhujjah oleh seorang pun dari para ahli hadits periwayatan haditsnya
yang ia bersendirian dengannya”.
Dan bagi siapa yang membaca keterangan para ulama tentang Abu Ja’far
Ar-Rozy ini, ia akan melihat bahwa kritikan terhadap Abu Ja’far ini
adalah Jarh mufassar (Kritikan yang jelas menerangkan sebab lemahnya
seorang rawi). Maka apa yang disimpulkan oleh Ibnu Hajar dalam
Taqrib-Tahdzib sudah sangat tepat. Beliau berkata : “Shoduqun sayi`ul
hifzh khususon `anil Mughiroh (Jujur tapi jelek hafalannya, terlebih
lagi riwayatnya dari Mughirah).
Maka Abu Ja’far ini lemah haditsnya dan hadits qunut subuh yang ia
riwayatkan ini adalah hadits yang lemah bahkan hadits yang mungkar.

Dihukuminya hadits ini sebagai hadits yang mungkar karena 2 sebab :
Satu : Makna yang ditunjukkan oleh hadits ini bertentangan dengan
hadits shohih yang menunjukkan bahwa Nabi shollallahu `alaihi wa alihi
wa sallam tidak melakukan qunut kecuali qunut nazilah, sebagaimana
dalam hadits Anas bin Malik :

أ&#16
“Sesungguhnya Nabi shollallahu `alaihi wa alihi wa sallam tidak
melakukan qunut kecuali bila beliau berdo’a untuk (kebaikan) suatu
kaum atau berdo’a (kejelekan atas suatu kaum)”. Dikeluarkan oleh Ibnu
Khuzaimah 1/314 no. 620 dan dan Ibnul Jauzi dalam At-Tahqiq 1/460 dan
dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 639.

Kedua : Adanya perbedaan lafazh dalam riwayat Abu Ja’far Ar-Rozy ini
sehingga menyebabkan adanya perbedaan dalam memetik hukum dari
perbedaan lafazh tersebut dan menunjukkan lemahnya dan tidak tetapnya
ia dalam periwayatan. Kadang ia meriwayatkan dengan lafazh yang
disebut di atas dan kadang meriwayatkan dengan lafazh :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar