Minggu, 12 Juli 2009

SHALAT KHUSYU'; MANIFESTASI TAQWA




Suatu hari Umar Bin Khathab RA mengurus kebun sampai-sampai ia tertinggal berjama’ah shalat Ashar. Maka beliau berkata: ”Aku tertinggal berjama’ah Ashar hanya karena sepetak kebun, kini kebunku aku jadikan shadaqah buat orang-orang miskin.”

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan Islam.”
(QS. Ali Imran/3:102).



Taqwa, semua orang pernah mendengar kata tersebut, walaupun ada yang belum memahami makna sesungguhnya. Namun, semua maklum bahwa ”taqwa” adalah istilah untuk sesuatu yang baik. Dalam Islam, taqwa merupakan tingkatan paling mulia yang harus dicapai oleh setiap manusia, sebagaimana firman Allah SWT;
“Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lelaki dan se-orang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” QS. 49:13

Dengan jelas Allah SWT menempatkan taqwa di antara sekian tingkat yang harus dicapai oleh hamba-hamba-Nya.


Hakikat Taqwa, Hidup & Mati

Kata “taqwa” berasal dari bahasa Arab yang merupakan akar kata dari “al-Wiqayah” atau “al-Wiqwa” yang berarti alat pelindung kepala atau perisai untuk menghindari diri dari sesuatu yang ditakuti dan membahayakan dirinya. “At-Taqwa” adalah bentuk mashdar yang artinya “al-Itqaa” yaitu membuat perlindungan. Sedangkan menurut para ahli hakikat, taqwa berarti memelihara diri dengan jalan taat ke-pada Allah SWT atau menjauhi semua yang dilarang-Nya sehingga tetap terlindung.

Taqwa dalam taat berarti ikhlas ketika melaksanakan perintah Allah. Sedangkan taqwa dalam maksiat ialah dengan menjauhi setiap yang dilarang-Nya. (At-Ta’rifat, Al-Jarjany:65)

Pengertian Taqwa yang paling sederhana ialah sifat dan sikap ketaatan mu’min terhadap syari’at Allah SWT yaitu dengan menjalankan perintah Allah dan menjauhi setiap yang dilarang-Nya. Maksudnya, seseorang disebut bertaqwa (mutta-qin) apabila ia mampu menguasai diri dengan selalu menjalankan kebaikan serta memelihara diri dari perbuatan keji dan mun-kar.

Kedua batasan Allah tersebut semuanya terkandung dalam Al-Quran dan Al-Hadits.

Perumpamaan yang paling mudah kita fahami tentang makna taqwa ini ialah dialog antara Umar Bin Khatab dengan Ubai Bin Ka’ab. Umar bertanya kepadanya tentang taqwa, lalu Ubai Bin Ka’ab menjawab dengan sebuah pertanyaan:”Bukankah engkau pernah melewati jalan yang penuh onak dan duri? Bagaimana sikapmu ketika berjalan di atasnya?” Umar pun menjawab: ”Saya akan selalu siap dan mencari pijakan dengan hati-hati.” “Itulah taqwa !” jawab Ubai Bin Ka’ab.

Jadi ibaratnya, kehidupan ini merupakan jalan yang penuh duri dan harus diwaspadai, sedangkan hududullah merupakan rambu-ram-bu petunjuk untuk keselamatan perjalanan. Bila menemui daerah berbahaya, maka bukalah pedoman perjalanan hidup yang telah Allah berikan lewat utusan-Nya yaitu Kitab suci Al-Quran dan tuntunan Sunnah Nabawiyah. Sehingga persinggahannya di alam fana ini berjalan mulus dan meraih kebahagiaan yang dituju. Kalau kita mampu melewati jalan tersebut, maka tujuan kita pun tercapai yaitu meraih mardlatillah (keridlaan Allah) di dunia dan di Akhirat. Tetapi sebaliknya, apabila sikap hati-hati (baca: Taq-wa) tidak kita miliki, pastilah kita terluka oleh duri kehidupan dan tidak akan mencapai tujuan hidup kita.

Sayyid Qutb pernah menjelaskan dengan kalimat yang indah dalam tafsirnya “Fi Dhilal Al-Quran,” katanya: ”Demikianlah taqwa, ke-pekaan batin, kelembutan perasaan, rasa takut dan selalu waspada serta hati-hati jangan sampai menginjak duri jalanan. Jalan kehidupan yang selalu ditaburi duri-duri godaan dan syah-wat, kerakusan dan mimpi-mimpi, kekhawatiran dan kegelisahan, harapan semu dan yang tidak bisa diharapkan kebaikannya. Ketakutan palsu dari sesuatu yang tidak pantas ditakuti. Dan masih banyak yang lainnya.”

Demikianlah sikap hidup seorang muttaqin dan sebagai puncaknya ialah mencapai derajat Haqqa Tuqatih yaitu manusia yang sebenar-benarnya taqwa. (QS. Ali Imran:102)

Allah Ta’ala menjadikan bumi sebagai tempat berpijak manusia dan menjalani kehidupannya. QS. 7:24-25 Dunia sebagai sarana untuk mencapai kehidupan yang lebih kekal dan abadi yaitu alam akhirat yang hanya dibatasi oleh kematian. Manusia yang berhak mengisinya ialah mereka yang suci jiwanya dengan amal shalih dan ketaqwaan. Firman Allah; “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang membersihkan diri. Dan menyebut nama Tuhannya lalu melaksanakan shalat. Tetapi kalian (orang kafir) mengutamakan kehidupan dunia. Sedang akhi-rat itu lebih baik dan lebih kekal.” QS. 87:14-17

Begitulah kehidupan dunia, dipenuhi de-ngan hiasan yang bisa melalaikan manusia dari hakikat manusia diciptakan yaitu beribadah ha-nya kepada Allah SWT. Padahal dari makna lahir saja, kata “dunia” menggambarkan kehi-dupan yang kecil dan sesaat.

Dalam “Tahdibul Akhlaq”, dijelaskan; “Dunia dan akhirat adalah ibarat dua keadaan. “Ad-Dunya” berarti “al-Qarib” (sementara) dan “Ad-Danaa” (hina dan kecil) yaitu segala per-kara yang ada sebelum kematian datang. Sedangkan akhirat adalah al-Mutarakhi (tujuan akhir) yang terjadi setelah kematian.” (Hlm. 78)

Karenanya, Rasulullah SAW mewanti-wanti ummatnya dari kehidupan dunia yang melebihi batas. Dalam sebuah hadits dijelaskan ada malaikat yang menyeru; “Biarkan dunia bagi mereka yang mencintainya !” hingga diulang sampai tiga kali, “Barangsiapa yang mencari dunia melebihi batas keperluannya, maka dia akan menemui ajal dalam keadaan tak sadar.” HR. Al-Bazzar

Kematian memang satu hal yang sudah pasti datangnya, kapan atau dimana, hanya Allah yang tahu. Oleh karena itu, persiapannya harus dalam setiap saat. Allah SWT memberikan tuntunan hidup bagi manusia agar tidak takut menghadapi kematian yaitu mempersiapkan bekal menuju kehidupan kekal nanti. Dan bekal yang sebaik-bainya adalah taqwa. QS. 2:197

Dengan merujuk pada pengertian taqwa di atas, maka aplikasi dari taqwa ini ialah berhati-hati dan selalu memperhitungkan setiap amal perbuatan yang akan dilakukan, apakah bertentangan dengan titah-Nya atau tidak.
Imam Al-Baidlawi dalam kitab tafsirnya, membagi taqwa menjadi tiga tingkatan;

Tingkatan Pertama, Taqwa seseorang yang didorong oleh rasa takut akan siksa yang kekal sehingga dia memelihara diri dari perbuatan dosa dan syirik kepada Allah. QS. 48:26

Tingkatan Kedua, Taqwa dengan menjauhi setiap perbuatan dosa sampai dosa yang dianggap kecil oleh sebagian manusia. Inilah o-rang yang mencapai derajat taqwa sesuai dengan definisi di atas.

Tingkatan Ketiga, Taqwa dengan melaksanakan seluruh perintah Allah dari yang pa-ling ringan hingga rahasia-rahasia yang ada di balik semua perintah-Nya dan menjaga diri dari perbuatan dosa yang paling kecil yang ber-akibat kejahatan-kejahatan yang lebih besar. Tingkatan inilah yang mencapai derajat “haqqa tuqatih”.

Setiap muslim wajib meyakini akan adanya hari berbangkit, dimana setiap manusia akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Allah langsung tanpa perantara. Mulai dari amaliah zhahir sampai bisikan hati sekalipun. Inilah yang dimaksud dengan rahasia-rahasia di balik sebuah perbuatan. Baik perbuatan yang berbentuk amal badani maupun batin harus sejalan dengan ketentuan Allah sebagai manifestasi taqwa yang sesungguhnya.

Konsekuensi Taqwa

Melaksanakan sebuah perbuatan, selalu mendapat balasan yang setimpal. Seorang yang berbuat baik pada sesama, akan memperoleh keuntungan dicintai dan dihormati o-rang lain. Sebaliknya, perbuatan jahat akan mendapat balasannya pula.

Demikian halnya dengan seorang yang bertaqwa, konsekuensi dari perbuatan taqwanya ialah memperoleh kebahagiaan hakiki disebabkan kesabaran dalam mempertahankan nilai ketaqwaannya. Firman Allah SWT: “Barang-siapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar (dari kesulitan) dan memberinya rizqi dari arah yang tiada disangka-sangka.” QS. At-Thalaq/65:2-3

Dalam menafsirkan ayat ini, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalany seorang ulama hadits me-nyoroti aspek dari sebab turunnya ayat di atas dalam kitabnya “Takhrij Ahaditsil Kasyaf,” antara lain; “Al-Hakim meriwayatkan dari Jabir karanya; “Ayat ini turun berkenaan dengan seorang tua renta yang miskin lagi papa. Pada suatu hari Rasulullah SAW datang kepadanya dan bersabda; “Taqwalah kepada Allah dan bersabarlah !” Tidak lama kemudian datanglah anak pamannya dengan membawa ternak-ternaknya.” (Sanad hadits ini masih diperbincangkan )

Hadits ini menjelaskan bagaimana Allah memberikan jalan keluar bagi hamba-Nya yang bertaqwa setelah dia mengerti apa hakikat taqwa sesungguhnya sesuai tingkatannya.

Banyak ayat Al-Quran yang menyatakan balasan bagi orang yang benar-benar bertaqwa serta menghayatinya dengan memperlihatkan amal shalih dan perilaku terbaik di hadapan Allah SWT. Firman-Nya; “Sesungguhnya o-rang-orang yang bertaqwa berada dalam tempat yang aman. (Yaitu) di dalam surga yang dipenuhi mata air. Mereka memakai sutera yang halus dan sutera yang tebal, (duduk) berhadap-hadapan. Demikianlah Kami berikan ke-pada mereka bidadari. Di dalamnya mereka meminta segala macam buah-buahan dengan kesenangannya. Mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya kecuali mati di dunia. Dan Allah memelihara mereka dari adzab neraka, sebagai karunia dari Tuhanmu. Yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar. Sesungguhnya Kami mudahkan Al-Quran itu dengan bahasamu supaya mereka mendapat pelajaran. Maka, tunggulah, sesungguhnya mereka itu menunggu (pula).” QS. Ad-Dukhan/44:51-59


Karakteristik Muttaqin

Cukup menarik untuk dikaji ulang, tentang sifat dan sikap muttaqin yang lebih praktis, dengan tujuan agar kita mampu mengapli-kasikannya dalam kehidupan dan rutinitas sehari-hari.
Ada beberapa tanda muttaqin sejati yang penting untuk dihayati oleh setiap muslim, di antaranya:

Pertama: Mu’ahadah (Selalu Mengingat Janji)

Seorang muttaqin sejati akan selalu mena-namkan sikap mu’ahadah yaitu berusaha se-kuat tenaga untuk melaksanakan dan meme-nuhi janjinya, terutama perjanjian dengan Allah SWT. Tidakkah kita sadar bahwa setiap kali shalat kita mengucapkan janji setia dengan mengikrarkan IYYAKA NA’BUDU WA IYYA-KA NASTA’IN (Hanya kepada-Mu ya Allah kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan).
Artinya segenap hidup kita diserahkan hanya untuk beribadah kepada Allah SWT dan selalu mengadu kepada-Nya.

Allah SWT sendiri mengingatkan dalam firman-Nya: ”Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah ka-mu membatalkan sumpah-sumpahmu itu sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sum-pahmu itu). Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu perbuat.” QS. 16: 91

Kedua: Muraqabah (Menyadari Allah selalu mengawasinya)

Tanda kedua ini merupakan cerminan sikap Ihsan yang harus dimiliki oleh setiap muslim dan muttaqin sejati. Ihsan artinya kita selalu merasa diawasi Allah walaupun kita tidak melihat-Nya langsung, karena Allah SWT memiliki sifat Maha melihat dan Maha mendengar. Sebagaimana firman Allah SWT: “Dia-lah Allah yang melihatmu ketika kamu berdiri (shalat) dan melihat pula perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.” QS. Asy-Syura: 218-219

Muraqabah ini dapat terlihat dari wujud ketaatan kita terhadap Allah SWT. Maksudnya, kita dituntut untuk memperhatikan setiap ke-giatan kita, apakah sesuai dengan Syari’at Allah atau tidak. Karena sekecil apapun amal kita, kelak akan diperlihatkan dan dibalas, sebagaimana firman Allah SWT: ”Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat balasannya pula.” (QS. 99: 7-8) Sejauh mana sikap muraqabah kita terhadap Allah SWT ?

Ketiga: Muhasabah (Introspeksi Diri)

Muhasabah merupakan upaya kita meningkatkan kualitas keimanan yang ada dalam diri masing-masing. Karena dengan menghitung, sudah berapa banyak amal baik yang kita miliki akan lahir kesadaran untuk meningkatkannya setiap saat. Umar Bin Khathab menasehati ki-ta, “Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab, timbanglah dirimu sebelum kamu ditimbang dan bersiap-siaplah untuk menghadiri hari yang agung (kiamat). Pada hari itu kamu dihadapkan kepada pemeriksaan, tiada yang tersembunyi dari amal kalian barang satu pun.”

Disamping menghitung kadar jumlahnya dari amal shalih yang kita lakukan, juga kita se-lalu meningkatkan kualitas amal tersebut, apa-kah kita ikhlas mengamalkannya atau karena keterpaksaan belaka? Dengan demikian setiap detik yang kita lewati, dengan muhasabah akan lahir amal yang lebih baik dari sebelumnya. Firman Allah SWT: ”Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (Akhirat) dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18)

Keempat: Mu’aqabah (Memberikan Sanksi)

Sesungguhnya sikap Mu’aqabah ini lahir dari kesadaran untuk tetap menjalankan sya-ri’at Allah. Mu’aqabah ialah pemberian sanksi kepada diri sendiri, apabila kita menyalahi perjanjian yang kita buat. Namun tentu saja sanksi tersebut tidak boleh menyalahi Sunnah Rasulullah SAW seperti tidak akan menikah, shaum terus menerus dan lain-lain. Sanksi ini hanya untuk mengingatkan apabila kita lalai dari perjanjian.

Dalam sebuah riwayat dikisahkan, suatu hari Umar Bin Khathab RA mengurus kebun sampai-sampai ia tertinggal berjama’ah shalat Ashar. Maka beliau berkata: ”Aku tertinggal berjama’ah Ashar hanya karena sepetak kebun, kini kebunku aku jadikan shadaqah buat orang-orang miskin.” Sungguh mulia akhlaq shahabat Umar, hanya karena tertinggal shalat Ashar ia memberikan sanksi yang begitu besar. Tidakkah kita tergugah untuk meneladaninya?

Kelima: Mujahadah (Bersungguh-sungguh dan berusaha keras)

Tanda muttaqin sejati ialah Mujahadah artinya seluruh kemampuannya ia kerahkan untuk melaksanakan syari’at Allah SWT, baik jiwanya, hartanya ataupun kekuasaan dan kehormatannya. Seorang muttaqin akan ber-usaha semaksimal mungkin beribadah kepada Allah sesuai dengan aturan-aturan-Nya, melaksanakan Sunnah-Sunnah-Nya, memperhatikan keikhlasannya. Firman Allah SWT:

“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh mencari keridlaan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah beserta orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut: 69)
Inilah lima tanda muttaqin sejati. Sudahkah kita miliki? Insya Allah.
RABB IJ’ALNII LI AL-MUTTAQINA IMA-MA (Ya Rabbi, Jadikanlah aku pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa). Amien.

Subhan Nurdin



Tidak ada komentar:

Posting Komentar